1.
PENDAHULUAN
Bahasa
merupakan alat komunikasi yang tidak terlepas dari arti atau makna dari setiap
perkataan yang bersifat arbiter (sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap,
mana suka). Artinya tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa (yang
berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang
tersebut (Chaer, 2007:45). Umpamanya, kata /kuda/ hal dengan yang
dilambangkannya yaitu sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.
Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan
bunyi /kuda/. Begitu juga, kita tidak dapat menjelaskan hubungan antara
alambang bunyi /air/ dengan benda yang dilambangkannya, yaitu barang cair yang
dapat dipakai untuk minum, mandi, dan masak, yang rumus kimianya H2O,
mengapa bukan dilambangkan dengan bunyi /ria/ atau /ari/, ini tidak bisa
dijelaskan karena sifatnya yang arbiter. Hal ini berfungsi untuk memudahkan
orang dalam melakukan tindakan kebahasaan (Wahidy, 2011:7).
Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa
dianalisis dan dikaji dengan berbagai pendekatan, yang antara lainnya melalui
pendekatan makna, sedangkan semantik merupakan komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam
pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna, pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya
tindakan berbahasa itu tidak lain daripada upaya untuk menyampaikan makna-makna
itu. Ujaran-ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali ( Parera,
2004:17 ).
Tarigan (1993:13) menyatakan bahwa
semantik menelaah hubungan tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah
penerapannya. Makna, sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan
kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti, dalam
keseluruhannya memiliki tiga tingkatan keberadaan. Pada tingkat pertama, makna
menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga membuahkan
preposisi yang benar.
Tingkat kedua,
makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. Pada tingkat ketiga, makna
menjadi isi komunikasi yang mempu membuahkan informasi tertentu.
Sejalan dengan pernyataan di atas,
Profesor Samsuri (dalam Aminuddin, 2001:7) mengungkapkan terdapatnya garis
hubungan : ‘makna’ à ungkapan à
‘makna’. Apabila makna pada tingkat pertama dan kedua berhubungan dengan
penutur, maka makna pada tingkat ketiga adalah makna yang hadir dalam
komunikasi sesuai dengan butir informasi yang diperoleh penanggap.
Lebih lanjut, Wallace L Chafe (dalam
Aminuddin, 2001:8) mengungkapkan bahwa berfikir tentang bahasa, sebanarnya
sekaligus juga telah melibatkan makna. Hal ini sejalan dengan fungsi semantik
itu sendiri, yaitu agar dapat mengolah pesan, menata struktur kebahasaan, serta
menggunakannya dengan tepat. Seorang yang mempelajari semantik memiliki tujuan
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan orang yang mempelajarinya. Bagi
seorang wartawan tujuan mempelajari semantik lebih bersifat praktis sekedar
untuk mengetahui makna kata yang akan mendukung berita yang akan disampaikannya
kepada masyarakat pembaca (Pateda, 2010:23). Pendapat tersebut didukung oleh
Chaer (2009:12) yang menyatakan bahwa seorang wartawan, seorang reporter, atau
orang-orang yang bekecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan,
mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dan pengetahuan mengenai
semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan
kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat
umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi,
konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat
menyampaikan informasi secara tepat dan benar.
Adapun bagi mereka yang berkecimpung
dalam penelitian bahasa seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra,
pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk dapat
menganalisis bahasa atau bahasa-
bahasa yang
sedang dipelajarinya. Sejalan dengan pendapat Kridalaksana (dalam Meirani dan
Welly, 2010:101) yang menyatakan bahwa semantik merupakan sistem dan
penyelidikan makna dan arti suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Berkaitan dengan
“makna” dalam suatu kegiatan berbahasa yang merupakan satu kesatuan utuh.
Penulis mencoba membahas mengenai pengertian semantik, sejarah semantik, dan
manfaat mempelajari semantik. Untuk itu dirumuskan masalah sebagai berikut.
1)
Apa yang
dimaksud dengan semantik?
2)
Bagaimana
sejarah perkembangan semantik?
3)
Apa memfaat
mempelajari semantik?
Pembuatan
makalah ini secara umum bertujuan mendeskripsikan keberadaan “semantik kata” dalam bahasa yang
digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Secara khusus makalah ini
bertujuan:
1)
Mendeskripsikan
pengertian semantik.
2)
Mendeskripsikan
sejarah perkembangan semantik.
3)
Mendeskripsikan memfaat
yang diperoleh dengan mempelajari semantik.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa
Indonesia (Inggris: semantiks) semula berasal dari
bahasa Yunani, sema (kata
benda yang berarti “tanda”) atau “lambang". Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan
kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (Chaer, 2009:2) yaitu yang terdiri dari
(1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2)
komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua
komponen ini adalah merupakan tanda dan lambang; sedangkan yang ditandai atau
dilambanginya adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazmi disebut
referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian
disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang
mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi
dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Dengan
anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian
dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal
ini juga menduduki tingkatan tertentu.
Apabila komponen
bunyi umumnya menduduki tingkatan pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka
komponen makna menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu
sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi
abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b) lambang-lambang
merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan
(c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mensosialisasikan
adanya makna tertentu (Aminuddin, 2001:15).
Semantik
mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik
merupakan bagian dari linguistik.
Selain
istilah semantik dalam sejarah
linguistik ada pula digunakan istilah
lain seperti semiotika, semiology,
semasiology, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang
mempelajari makna atau arti dati suatu
tanda atau lambing. Namun, istilah semantik
lebih umum digunakan dalam studi linguistik
karena istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang
lebih luas, yakni cakupan makna tanda atau lambing pada umumnya. Termasuk
tanda-tanda lalu lintas, kode morse, tanda-tanda dalam ilmu matematika, dan
sebagainya.
Berlainan dengan tataran analisis
bahasa lainnya, semantik merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan
erat dengan limu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi; bahkan
juga dengan filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dengan
semantik karena sering dijumpai pada kenyataan bahwa penggunaan kata-kata
tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok dalam
masyarakat. Kata uang dan duit memiliki “makna” yang sama, tetapi
penggunaannya dapat menunjukkan identitas kelompok yang menggunakannya. Begitu
juga dengan penggunaan kata besar dan
gede; atau kata wanita dan cewek.
Sedangkan antropoloogi berkepentingan dengan semantik, antara lain, karena
analisis makna suatu bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang
kehidupan budaya pemakainya (Chaer, 2009:4).
Dalam analisis semantik harus juga
disadari karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan budaya masyarakat pemakainya maka analisis semantik suatu bahasa
hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis
bahasa lain. Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis
binatang yang hidup di dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam
bahasa Inggris sepadan dengan fish. Tetapi
kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’,
melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk, teman pemakan
nasi. Malah semua lauk seperti tempe
dan tahu sering juga disebut iwak.
Contoh lain, kata cat dalam bahasa
Inggris selain berarti ‘kucing’, juga berarti semua binatang yang bentuknya
seperti kucing, baik besar maupun kecil. Jadi termasuk singa (lion) dan harimau (tiger). Padahal dalam bahasa Indonesia kucing adalah ‘kucing’;
tidak termasuk singa dan harimau. Jadi, kalau dalam bahasa Inggris kata cat
merupakan istilah generic untuk binatang yang serupa dengan kucing. Tetapi
dalam bahasa Indonesia tidak demikian.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Semua
ini karena bahasa adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan
dari masyarakat buduaya yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat Inggris
tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu kata
rice pada konteks tertentu berarti ‘nasi’,
pada konteks lain berarti ‘gabah’, dan pada konteks lain lagi berarti ‘beras’
atau ‘padi’. Lalu karena “makan nasi” bukan merupakan budaya Inggris maka dalam
bahasa Inggris (dan juga bahasa lain yang masyarakatnya yang tidak berbudaya
makan nasi) tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak. (bahasa Jawa). Bukan
karena bahasa Inggris hanya punya kata rice
dan bahasa Indonesia punya kata nasi,
beras, gabah, dan padi maka bahasa Inggris bisa dikatakan lebih miskin dari
bahasa Indonesia. Karena kebiasaan makan nasi bukanlah merupakan kebiasaan atau
bagian dari kebudayaan Inggris. Contoh lain dalam budaya Inggris membedakan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis
kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakannya
berdasarkan usia: yang lebih tua dari ego
disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dalam bahasa Inggris bisa bisa
berarti ‘kakak’ dan bisa berarti ‘adik’, begitu juga sister. Sebaliknya kakak dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa
Inggris bisa berarti ‘brother’ dan ‘sister’.
Coba anda bayangkan juga bagaimana
budaya Inggris dan budaya Indonesia memandang waktu sehari semalam yang dua
puluh empat jam itu. Pukul satu malam budaya inggris mengatakan “good morning” alias “selamat pagi”;
padahal budaya Indonesia mengatakan ”selamat malam” karena memang maish malam,
matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang hari, budaya Inggris
masih juga mengatakan “selamat pagi”; padahal budaya Indonesia , matahari sudah
tinggi.
Kesulitan lain dalam menganalisis
makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu “yang menandai” dan “yang
ditandai” berhubungan sebagai satu lawan satu, artinya, setiap tanda linguistik
hanya mewakili satu makna. Adakalanya hubungan itu berlaku sebagai satu lawn
dua, atau lebih; bisa juga dua atau lebih lawan satu.
Selain
itu dalam bahasa yang penuturnya dari kelompok-kelompok yang mewakili latar
belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda, maka makna
sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan.
Umpamanya kata butuh dalam masyarakat
Indonesia di Pulau Jawa berarti ‘perlu’, tetapi dalam masyarakat Indonesia di
Sumatera Timur berarti ‘kemaluan laki-laki’. Kata babi dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam memiliki makna
yang berkonotasi negatif tetapi dalam masyarakat Indonesia yang nonislam
memiliki konotasi makna yang netral; atau juga berkonotasi positif, seperti
dalam masyarakat suku-suku irian.
2.2 Sejarah Semantik
Aristosteles,
sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama
yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurut
Aristosteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini,
Aristosteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan
antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata
yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Aminuddin, 2001:15) bahkan
plato (429-347 SM) dalam Aminuddin (2001)
mengungkapkan
bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu.
Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun
studi makna kata, belum jelas.
Pada
tahun 1925, seorang kebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig (dalam Aminuddin, 2001:16) mengemukakan konsep
baru tentang grammar yang menurut
Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni (1) semasiologi,
ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, serta (3) etimologi,
studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun kata.
Pada masa ini, istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi
tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh
Aminuddin disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkannya dengan underground period.
Masa
kedua pertumbuhan semantik telah ditandai dengan kehadiran karya Michel Breal
(1883), seorang kebangsaan Prancis, lewat artikelnya berjudul “Les Lois Inteilectuelles du Langage”.
Pada masa itu,meskipun dengan jelas Breal telah menyebutkan semantik sebagai
bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, mesih menyebut semantik
sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa
itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur diluar bahasa itu sendiri,
misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan
perubahan makna dengan logika, psikologi maupun dengan kriteria lainnya. Karya
klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu adalah Essai de Semantique.
Masa
pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan munculnya
karya filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Referance to the Engllish
Language (1931). Stern dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara
empiris dengan bertolak dari satu
bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya
Stern itu, di Jenawa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar
bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni
buku Cours de Linguistique Generale
(1916), karya Ferdinand de Sausure.
Terdapat
dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang
teori dan penerapan studi kebahasaan. Dua konsep ini adalah (1) linguistik pada
dasarnya studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu
tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang
bersifat deskriptif. Sedangkan studi tenntang sejarah dan perkembangan suatu
bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis, (2)
bahasa merupakan suatu gestal atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai
elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain mengalami saling kebergantungan
dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga
menjadi akar paham linguistik struktural.
Tokoh
yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat Saussure didalam
bidang semantik adalah Trier’s. Salah satu teori profesor berkebangsaan Jerman
tersebut adalah Teori Medan Makna.
Dengan diadabtasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam
perkembangan berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipun semantik
masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah
ditinggalkan kerena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, serta (2) struktur dalam kosakata mendapat perhatian
dalam kajian sehingga dalam kongres para linguis di Oslo (1957) maupun di
Cambridge (1962), masalah “semantik
struktural” merupakan satu masalah yang hangat dibicarakan (Ullmann, 2009:10).
2.3 Tujuan
mempelajari semantik
mempelajari semantik ini tergantung pada
tujuan seseorang mempelajarinya. Misalnya, seseorang yang seorang wartawan akan berbeda tujuan mempelajari semantik jika
dibandingkan dengan tujuan seorang mahasiswa. Mahasiswapun masih harus
dibedakan tujuannya dalam mempelajari semantik, sebab tujuan seorang mahasiswa
fakultas sastra akan berbeda tujuannya dalam mempelajari semantik jika
dibandingkan dengan tujuan seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (FKIP).
Bagi
seorang wartawan tujuan mempelajari semantik lebih bersifat praktis sekedar
untuk mengetahui makna kata yang akan mendukung berita yang akan disampaikannya
kepada masyarakat pembaca. Sebenarnya ia lebih praktis membaca kamus saja,
namun dengan mempelajari semantik wartawan tadi mendapat wawasan untuk
menemukan kata dengan makna yang tepat sehingga berita yang disuguhkan kepada
masyarakat pembaca mudah dipahami (Pateda, 2010:23).
Seorang
mahasiswa fakultas sastra pada suatu universitas, tujuannya mempelajari
semantik lebih bersifat teoritis karena dengan teori tersebut ia dapat
menganalisis semantik bahasa tertentu yang mungkin ditelitinya.
Seorang
mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (FKIP) lain lagi
tujuannya mempelajari semantik. Baginya tujuan mempelajari semantik bersifat
ganda. Dikatakan ganda, oleh karena selalin sifatnya yang teoritis, juga
bersifat praktis. Dikatakan bersifat teoritis karena dengan dasar-dasar teori
semantik, calon pendidik tadi mudah menerangkan makna kata tertentu kepada
peserta didik. Dikatakan praktis oleh karena pengetahuan tentang teori semantik
akan dapat memudahkan pekerjaannya sebagai guru bahasa nanti. Tentu saja
pengetahuannya tentang ilmu bahasa tidak terbatas pada bidang semantik saja,
tetapi keseluruhan teori yang berhubungan dengan bahasa.
Seorang
guru bahasa juga sangat perlu mempelajari semantik. Selain harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang luas
mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori semantik
secara memadai. Telah diketahui bahwa unsur bahasa yang berwujud kata dan
kalimat dapat diumpamakan seperti mata uang yang bersisi dua. Maksudnya, ada
bentuk dan ada pula beban bentuk tersebut disebut makna. Jadi tujuan seorang
guru bahasa mempelajari semantik, yakni ia dapat menjelaskan kepada peserta didik, mana bentuk yang secara
semantik benar, dan mana yang salah. Bagaimanakah memilih kata –kata yang
digunakan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi semantik. Ia juga dapat
menjelaskan manakah kata yang tergolong homonim, dan manakah makna yang
mempunyai makna ganda. Dengan demikian, tujuan mempelajari semantik, selain
bersifta teoritis, juga bersifat praktis. Itu sebabnya sangat dianjurkan agar
guru bahasa, selain memiliki buku yang berhubungan dengan semantik, juga harus
memiliki kamus bahasa yang diajarkannya.
Adapun
manfaat mempelajari semantik bagi orang awam, memang bagi orang-orang awam atau
bagi orang-orang kebanyakan pada umumnya. Pengetahuan yang luas akan teori
semantik tidaklah diperlukan. Tapi pemakaian dasar-dasar semantik tentunya
masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan
informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada di
sekelilingnya, dan juga harus mereka serap, berlangsung melalui bahasa, melalui
dunia lingual. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup
tanpa memahami alam sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa (Chaer,
2009:13).
3. SIMPULAN
Semantik
merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para
pemakainya sehingga dapat saling dimengerti, sebagai manusia yang bermasyarakat
kita tidak bisa lepas dari bahasa sebagai alat komunikasi dan tanpa ‘makna’ bahasa yang berbentuk
ujaran-ujaran tersebut tidak akan berarti sama sekali. Semantik dipelajari
dengan tujuan agar bahasa yang kita sampaikan kepada orang lain dapat diterima
dengan baik, Seorang dalam mempelajari semantik memiliki tujuan yang
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan orang yang mempelajarinya. Walaupun bagi
orang awam teori semantik tidaklah diperlukan, tapi pemakaian dasar-dasar
semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya
yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan.
Semua
informasi yang ada di sekeliling manusia sebagai makhluk sosial harus mereka
serap melalui bahasa, melalui dunia lingual. Sebagai manusia bermasyarakat
tidak mungkin mereka bisa hidup tanpa memahami alam sekeliling mereka yang
berlangsung melalui bahasa. Bahasa yang berisi informasi itulah yang kaya akan
makna. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan “bahasa tanpa makna tidak
akan dianggap penting”. Meskipun demikian informasi yang disampaikan juga harus logis, memiliki keselarasan
hubungan dan kesatuan gagasan.
4.
DARTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 2001. Semantik
(Pengantar Studi tentang Makna). Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Meirani, Wasitoh dan Welly Ardiansyah. 2010. Bianglala Bahasa dan Sastra. Jakarta: Penerbit Azhar.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Ullmann, Stephen. 2009. Pengantar Semanatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahidy, Achmad. 2011. Pragmatik. Palembang: Universitas PGRI Palembang.