Sunday, March 16, 2014

pekat yang melekat pada lidah-lidah buaya
terkutuk niat pendosa
hadirkan laknat termanis
elok rupa, tak berduri, mengundang lara
mematikan sendi-sendi pengharapan
tiap tikaman menelan korban
lidahmu serupa harimau
hantarkan jiwa dalam kecewa

pekat yang melekat pada lidah-lidah buaya
hambarkan rasa tuk merasa
tsunamikan hati, abadi gelisah
gila menanti ajal.
namun, sayang,
aku tak polos dalam mendeteksi kepalsuan

Pengabdian terindah



Mataku terasa berat, entah karena aku tak tidur atau karena lelah menangis semalaman. Tak ku hiraukan sapaan burung-burung dan ku acuhkan begitu saja senyum sang mentari, aku masih ingin disini. Suara merdunya parau, tak fasih lagi berbahasa, hanya beberapa kalimat yang selalu terucap bahkan maknanya saja sudah tak bisa ku pahami. Tulang-tulang pipi sudah mulai nampak di usia remajanya, sulit ditebak apa yang ia fikirkan.
Dahulu ia merupakan sosok idaman yang selalu tampil enerjik, bukan hanya dikagumi banyak lelaki, hatinya yang tulus membuatnya begitu dicintai para sahabat, tetangga, dan lingkungan dimana ia singgah. Aktif berperan dalam berbagai olimpiade membuat sekolah tertarik mengikitsertakannya dalam penerimaan beasiswa untuk melanjutkan belajar ke salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Berbeda denganku, aku kurang beruntung untuk mendapatkan kesempatan itu. Aku hanyalah seorang anak yang diangkat oleh keluarga kaya raya, tak ada cinta kasih yang ku dapat, hanya belas kasih Nadialah yang membuatku hidup dan bertahan hingga saat ini. Ia adalah kakak perempuanku.
Nadia, putri tunggal keluarga konglomerat yang kini harus memperjuangkan hidup keluarganya. Semanjak ayah mendekap dipenjara karena tuduhan korupsi dan difonis delapan tahun penjara, sejak saat itu pulalah, ibu sangat terpukul, tak ingin makan, minum, hanya murung seharian. Ingin sekali ku ringankan bebannya, tapi bagaimana? Bahkan melihatku saja ia tak ingin. Hanya Nadialah yang bisa membuatnya merasa damai. Dan takkan pernah menjadi Diana.
Aku yang akan memasuki kelas tiga di sekolah menengah atas ini tak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan beban saudaraku, seorang wanita yang kini menggantikan posisi kepala keluarga untuk sementara waktu. Aku masih ingat ketika itu ibu meminta Nadia menjadi seorang pengacara agar bisa membebaskan ayah, mereka saling merangkul dalam waktu yang cukup lama bahkan tak sedikit air mata yang mengalir. Karena itulah aku sempat ingim membenci kakakku, aku bahkan tak diperbolehkan menyentuh ibu, apalagi memeluknya. Sungguh, aku ingin ada dihatinya.
Aku sangat mengenal Nadia, tak jarang tugas matematika dan fisikaku ia kerjakan dengan cepat walaupun ia tak pernah membantu mengerjakan tugas sejarah dan PKnku, yang jauh lebih mudah dibanding angka-angka, yang sering membuat kepalaku hampir meledak, aku tetap mengaguminya. Tapi, disanalah letak kebahagiaanku karena akhirnya ku dapatkan cela dimana aku bisa membanggakan diriku dan menjadikannya nomor dua, tiga, atau jauh setelahku. Aku sedikit terkejut ketika mendengar Nadia akan melanjutkan kuliahnya di jurusan hukum. Membuatku sadar ternyata ia hanya berpura-pura tak menyukai pelajaran yang dituntut menyertakan nalar. Ia pernah berkata padaku, menghafal adalah hal yang paling ia benci. Namun, ternyata semua itu ia katakan hanya untuk menyenangkan hatiku, agar aku terlihat lebih darinya. Ia telah berhasil membodohiku, betapa malunya aku. Ia benar-benar ahli membuat orang bahagia. Ialah kakak perempuan yang ingin selalu ku cintai.
Perlahan keadaan mulai berubah saat ku sadari kealfaannya untuk menyapaku, bahkan pernah seminggu penuh tak ku lihat batang hidungnya. Ia hanya berpesan agar aku lebih giat dalam belajar, kelak aku harus membantunya membebaskan dan membersihkan nama ayah yang dituduh menggelapkan uang rakyat. Yah, tuduhan yang merobek-robek hati kami, merebut sosok pemimpin dalam keluarga ini. Walau aku tak begitu mengenalnya tapi Nadia yakin ini hanya fitnah keji yang ditujukan pada ayah, aku sangat percaya pada kakakku.
Ketika itu aku berfikir, apakah aku hahrus pergi sejenak menemui Nadiaku yang hampir seminggu tak pulang. Namun, fikiran itu terus terkubur karena aku harus menjaga ibu. Setelah berkali-kali berfikir keras akhirnya ku putuskan untuk mencarinya sepulang sekolah. Hampir satu jam ku tebar pandang di setiap sudut kampus, tetap tak ku temukan Nadia. Akhirnya ku beranikan diri menyapa seorang wanita asing yang berdiri dihadapanku, tak sia-sia sebuah alamat sudah ada ditanganku. Tapi, haruskah ia mengontrak rumah agar lebih fokus belajar? ini tak masuk akal! Bukankah jarak rumah dan kampus hanya setengah jam saja bila menggunakan bus. Karena penasaran ku beranikan diri melangkah lebih jauh, aku ingin memperlihatkan nilai ujian matematikaku.
Setelah ku telusuri alamat yang tertera pada selembar kertas usang ini, bukanlah alamat rumah yang ku temui, namun alamat sebuah café yang hanya buka disore hari hingga tengah malam. Berkali-kali kalimat Tanya itu muncul di benakku, apa sebenarnya yang dilakukan Nadiaku disini hingga ia jarang pulang?
Setelah cukup lama merenung, di kejauhan terlihatlah punggung seorang wanita yang ku fikir adalah Nadia, karena bentuk tubuhnya begitu ku kenal hanya saja yang membedakan adalah pakaian yang ia kenakan, pakaian yang wajib dikenakan setiap karyawan café tersebut.
“Nadia?”, sapaku kaget ketika ia berbalik saat ku sentuh pundaknya.
Bak disambar petir disiang hari, ini membuat suhu tubuhku mendadak tinggi. Lebih kurang lima belas menit suasana hening mencekamku, hatiku bertanya-tanya, tidakkah Nadia ingin menjelaskan sesuatu padaku?
“aku bekerja karena semua mata kuliah tidak ada lagi di jam sore” ia mencoba menenagkanku. “bukankah sudah ku katakana tugasmu hanya belajar dan menjaga ibu, lalu kenapa kau ada disini?” sambungnya dengan nada datar.
Ada yang berbeda. Nafasnya terdengar lebih berat, matanya Nampak lebih cekung dan ia sungguh terlihat kurus. Tak ada alasan untukku berlama-lama disini, ku putuskan untuk menyudahi pertemuan hari ini dan segera pulang kerumah.
Setelah pertemuan itu, tak ku temui lagi keceriaan dirautnya. Aku sangat menyesal, saat itu kenapa aku tak memintanya pulang bersama, kenapa tak ku peluk ia untuk sekedar meringankan yang berat, kini ia terbaring lemah ditengah perjalanan yang telah ia tata dengan rapi, mengabaikan semua keluh kesah hanya untuk membahagiakan orang lain, itulah Nadia, tapi aku tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Beberapa sarafnya terganggu, tak sedikit dokter yang menyarankan untuk membawa Nadia ke psikolog bahkan kerumah sakit jiwa. Nadia berjuang begitu keras, sehingga membuatnya begitu lelah, seharusnya aku tak sepakat saat ia memutuskan mengambil jurusan hukum ketika aku tahu ia tak suka menghafal, seharusnya aku tahu lebih awal ketika ia berjuang keras membiayai sekolahku dan menabung begitu banyak untuk kuliahku nanti, seharusnya hari itu aku datang untuk menjemputnya pulang beristirahat.
Malam kian pekat, hanya beberapa jangkrik kotalah yang setia menemaniku. Kini keinginanku untuk kuliah telah musnah, ku harus bekerja keras untuk mereka, keluargaku. Lebih kurang dua tahun ku sibukkan diri dengan giat mengirim tulisan-tilisanku ke berbagai surat kabar. Dan tak sia-sia kini novel yang ku tulis berhasil menembus pasaran dan diminati banyak pencinta sastra. dari hasil tulisanku, kuputuskan untuk menulis sambil kuliah. Di usiaku yang ke tiga puluh, aku berhasil menyandang gelar Magister Hukum di sisa hidupku, aku ingin tetap disini, merawat keluargaku hingga akhir hayatku.







PENGERTIAN SEMANTIK, SEJARAH SEMANTIK, DAN MANFAAT MEMPELAJARI SEMANTIK



1.      PENDAHULUAN
            Bahasa merupakan alat komunikasi yang tidak terlepas dari arti atau makna dari setiap perkataan yang bersifat arbiter (sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka). Artinya tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer, 2007:45). Umpamanya, kata /kuda/ hal dengan yang dilambangkannya yaitu sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai. Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi /kuda/. Begitu juga, kita tidak dapat menjelaskan hubungan antara alambang bunyi /air/ dengan benda yang dilambangkannya, yaitu barang cair yang dapat dipakai untuk minum, mandi, dan masak, yang rumus kimianya H2O, mengapa bukan dilambangkan dengan bunyi /ria/ atau /ari/, ini tidak bisa dijelaskan karena sifatnya yang arbiter. Hal ini berfungsi untuk memudahkan orang dalam melakukan tindakan kebahasaan (Wahidy, 2011:7).
                        Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan berbagai pendekatan, yang antara lainnya melalui pendekatan makna, sedangkan semantik merupakan komponen  bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna, pembahasan linguistik  belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu tidak lain daripada upaya untuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran-ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali ( Parera, 2004:17 ).
            Tarigan (1993:13) menyatakan bahwa semantik menelaah hubungan tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapannya. Makna, sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti, dalam keseluruhannya memiliki tiga tingkatan keberadaan. Pada tingkat pertama, makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga membuahkan preposisi yang benar.
Tingkat kedua, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. Pada tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mempu membuahkan informasi tertentu.
            Sejalan dengan pernyataan di atas, Profesor Samsuri (dalam Aminuddin, 2001:7) mengungkapkan terdapatnya garis hubungan : ‘makna’ à ungkapan à ‘makna’. Apabila makna pada tingkat pertama dan kedua berhubungan dengan penutur, maka makna pada tingkat ketiga adalah makna yang hadir dalam komunikasi sesuai dengan butir informasi yang diperoleh penanggap.
            Lebih lanjut, Wallace L Chafe (dalam Aminuddin, 2001:8) mengungkapkan bahwa berfikir tentang bahasa, sebanarnya sekaligus juga telah melibatkan makna. Hal ini sejalan dengan fungsi semantik itu sendiri, yaitu agar dapat mengolah pesan, menata struktur kebahasaan, serta menggunakannya dengan tepat. Seorang yang mempelajari semantik memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan orang yang mempelajarinya. Bagi seorang wartawan tujuan mempelajari semantik lebih bersifat praktis sekedar untuk mengetahui makna kata yang akan mendukung berita yang akan disampaikannya kepada masyarakat pembaca (Pateda, 2010:23). Pendapat tersebut didukung oleh Chaer (2009:12) yang menyatakan bahwa seorang wartawan, seorang reporter, atau orang-orang yang bekecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dan pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar.
            Adapun bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-
bahasa yang sedang dipelajarinya. Sejalan dengan pendapat Kridalaksana (dalam Meirani dan Welly, 2010:101) yang menyatakan bahwa semantik merupakan sistem dan penyelidikan makna dan arti suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.

Berkaitan dengan “makna” dalam suatu kegiatan berbahasa yang merupakan satu kesatuan utuh. Penulis mencoba membahas mengenai pengertian semantik, sejarah semantik, dan manfaat mempelajari semantik. Untuk itu dirumuskan masalah sebagai berikut.
1)      Apa yang dimaksud dengan semantik?
2)      Bagaimana sejarah perkembangan semantik?
3)      Apa memfaat mempelajari semantik?
Pembuatan makalah ini secara umum bertujuan mendeskripsikan keberadaan “semantik kata” dalam bahasa yang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Secara khusus makalah ini bertujuan:
1)      Mendeskripsikan pengertian semantik.
2)      Mendeskripsikan sejarah perkembangan semantik.
3)      Mendeskripsikan memfaat yang diperoleh dengan mempelajari semantik.

2.      PEMBAHASAN
 2.1 Pengertian Semantik
            Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantiks) semula berasal dari bahasa Yunani, sema (kata benda yang berarti “tanda”) atau “lambang". Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (Chaer, 2009:2) yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda dan lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazmi disebut referen atau hal yang ditunjuk.
            Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari  hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu.
Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkatan pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mensosialisasikan adanya makna tertentu (Aminuddin, 2001:15).
Semantik mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna  menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.
Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik  ada pula digunakan istilah lain seperti semiotika, semiology, semasiology, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti  dati suatu tanda atau lambing. Namun, istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik  karena istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni cakupan makna tanda atau lambing pada umumnya. Termasuk tanda-tanda lalu lintas, kode morse, tanda-tanda dalam ilmu matematika, dan sebagainya.
            Berlainan dengan tataran analisis bahasa lainnya, semantik merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan erat dengan limu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi; bahkan juga dengan filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik karena sering dijumpai pada kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok dalam masyarakat. Kata uang dan duit memiliki “makna” yang sama, tetapi penggunaannya dapat menunjukkan identitas kelompok yang menggunakannya. Begitu juga dengan penggunaan kata besar dan gede; atau kata wanita dan cewek. Sedangkan antropoloogi berkepentingan dengan semantik, antara lain, karena analisis makna suatu bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya pemakainya (Chaer, 2009:4).
            Dalam analisis semantik harus juga disadari karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya maka analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup di dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa  bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk, teman pemakan nasi. Malah semua lauk seperti tempe dan tahu sering juga disebut iwak. Contoh lain, kata cat dalam bahasa Inggris selain berarti ‘kucing’, juga berarti semua binatang yang bentuknya seperti kucing, baik besar maupun kecil. Jadi termasuk singa (lion) dan harimau (tiger). Padahal dalam bahasa Indonesia kucing adalah ‘kucing’; tidak termasuk singa dan harimau. Jadi, kalau dalam bahasa Inggris kata cat merupakan istilah generic untuk binatang yang serupa dengan kucing. Tetapi dalam bahasa Indonesia tidak demikian.
            Mengapa hal ini bisa terjadi? Semua ini karena bahasa adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat buduaya yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat Inggris tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu kata rice pada konteks tertentu berarti ‘nasi’, pada konteks lain berarti ‘gabah’, dan pada konteks lain lagi berarti ‘beras’ atau ‘padi’. Lalu karena “makan nasi” bukan merupakan budaya Inggris maka dalam bahasa Inggris (dan juga bahasa lain yang masyarakatnya yang tidak berbudaya makan nasi) tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak. (bahasa Jawa). Bukan karena bahasa Inggris hanya punya kata rice dan bahasa Indonesia punya kata nasi, beras, gabah, dan padi maka bahasa Inggris bisa dikatakan lebih miskin dari bahasa Indonesia. Karena kebiasaan makan nasi bukanlah merupakan kebiasaan atau bagian dari kebudayaan Inggris. Contoh lain dalam budaya Inggris  membedakan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakannya berdasarkan usia: yang lebih tua dari ego  disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dalam bahasa Inggris bisa bisa berarti ‘kakak’ dan bisa berarti ‘adik’, begitu juga sister. Sebaliknya kakak dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris bisa berarti ‘brother’ dan ‘sister’.
            Coba anda bayangkan juga bagaimana budaya Inggris dan budaya Indonesia memandang waktu sehari semalam yang dua puluh empat jam itu. Pukul satu malam budaya inggris mengatakan “good morning” alias “selamat pagi”; padahal budaya Indonesia mengatakan ”selamat malam” karena memang maish malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang hari, budaya Inggris masih juga mengatakan “selamat pagi”; padahal budaya Indonesia , matahari sudah tinggi.
            Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu “yang menandai” dan “yang ditandai” berhubungan sebagai satu lawan satu, artinya, setiap tanda linguistik hanya mewakili satu makna. Adakalanya hubungan itu berlaku sebagai satu lawn dua, atau lebih; bisa juga dua atau lebih lawan satu.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti ‘perlu’, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Sumatera Timur berarti ‘kemaluan laki-laki’. Kata babi dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam memiliki makna yang berkonotasi negatif tetapi dalam masyarakat Indonesia yang nonislam memiliki konotasi makna yang netral; atau juga berkonotasi positif, seperti dalam masyarakat  suku-suku irian.
 2.2             Sejarah Semantik
Aristosteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristosteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini, Aristosteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Aminuddin, 2001:15) bahkan plato (429-347 SM) dalam Aminuddin (2001) mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata, belum jelas.
            Pada tahun 1925, seorang kebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig (dalam Aminuddin, 2001:16) mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, serta (3) etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun kata. Pada masa ini, istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Aminuddin disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkannya dengan underground period.
            Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai dengan kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang kebangsaan Prancis, lewat artikelnya berjudul “Les Lois Inteilectuelles du Langage”. Pada masa itu,meskipun dengan jelas Breal telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, mesih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur diluar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun dengan kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu adalah Essai de Semantique.
            Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Referance to the Engllish Language (1931). Stern dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara empiris  dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenawa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Sausure.
            Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Dua konsep ini adalah (1) linguistik pada dasarnya studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi tenntang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis, (2) bahasa merupakan suatu gestal atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistik struktural.
            Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat Saussure didalam bidang semantik adalah Trier’s. Salah satu teori profesor berkebangsaan Jerman tersebut adalah Teori Medan Makna. Dengan diadabtasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipun semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan kerena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, serta (2) struktur dalam kosakata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres para linguis di Oslo (1957) maupun di Cambridge (1962), masalah “semantik struktural” merupakan satu masalah yang hangat dibicarakan (Ullmann, 2009:10).



2.3 Tujuan mempelajari semantik
 mempelajari semantik ini tergantung pada tujuan seseorang mempelajarinya. Misalnya, seseorang yang seorang wartawan  akan berbeda tujuan mempelajari semantik jika dibandingkan dengan tujuan seorang mahasiswa. Mahasiswapun masih harus dibedakan tujuannya dalam mempelajari semantik, sebab tujuan seorang mahasiswa fakultas sastra akan berbeda tujuannya dalam mempelajari semantik jika dibandingkan dengan tujuan seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (FKIP).
Bagi seorang wartawan tujuan mempelajari semantik lebih bersifat praktis sekedar untuk mengetahui makna kata yang akan mendukung berita yang akan disampaikannya kepada masyarakat pembaca. Sebenarnya ia lebih praktis membaca kamus saja, namun dengan mempelajari semantik wartawan tadi mendapat wawasan untuk menemukan kata dengan makna yang tepat sehingga berita yang disuguhkan kepada masyarakat pembaca mudah dipahami (Pateda, 2010:23).
Seorang mahasiswa fakultas sastra pada suatu universitas, tujuannya mempelajari semantik lebih bersifat teoritis karena dengan teori tersebut ia dapat menganalisis semantik bahasa tertentu yang mungkin ditelitinya.
Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (FKIP) lain lagi tujuannya mempelajari semantik. Baginya tujuan mempelajari semantik bersifat ganda. Dikatakan ganda, oleh karena selalin sifatnya yang teoritis, juga bersifat praktis. Dikatakan bersifat teoritis karena dengan dasar-dasar teori semantik, calon pendidik tadi mudah menerangkan makna kata tertentu kepada peserta didik. Dikatakan praktis oleh karena pengetahuan tentang teori semantik akan dapat memudahkan pekerjaannya sebagai guru bahasa nanti. Tentu saja pengetahuannya tentang ilmu bahasa tidak terbatas pada bidang semantik saja, tetapi keseluruhan teori yang berhubungan dengan bahasa.
Seorang guru bahasa juga sangat perlu mempelajari semantik. Selain harus memiliki pengetahuan dan keterampilan  yang luas mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Telah diketahui bahwa unsur bahasa yang berwujud kata dan kalimat dapat diumpamakan seperti mata uang yang bersisi dua. Maksudnya, ada bentuk dan ada pula beban bentuk tersebut disebut makna. Jadi tujuan seorang guru bahasa mempelajari semantik, yakni ia dapat menjelaskan  kepada peserta didik, mana bentuk yang secara semantik benar, dan mana yang salah. Bagaimanakah memilih kata –kata yang digunakan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi semantik. Ia juga dapat menjelaskan manakah kata yang tergolong homonim, dan manakah makna yang mempunyai makna ganda. Dengan demikian, tujuan mempelajari semantik, selain bersifta teoritis, juga bersifat praktis. Itu sebabnya sangat dianjurkan agar guru bahasa, selain memiliki buku yang berhubungan dengan semantik, juga harus memiliki kamus bahasa yang diajarkannya.
Adapun manfaat mempelajari semantik bagi orang awam, memang bagi orang-orang awam atau bagi orang-orang kebanyakan pada umumnya. Pengetahuan yang luas akan teori semantik tidaklah diperlukan. Tapi pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada di sekelilingnya, dan juga harus mereka serap, berlangsung melalui bahasa, melalui dunia lingual. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup tanpa memahami alam sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa (Chaer, 2009:13).

3.      SIMPULAN
Semantik merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti, sebagai manusia yang bermasyarakat kita tidak bisa lepas dari bahasa sebagai alat komunikasi dan tanpa ‘makna’ bahasa yang berbentuk ujaran-ujaran tersebut tidak akan berarti sama sekali. Semantik dipelajari dengan tujuan agar bahasa yang kita sampaikan kepada orang lain dapat diterima dengan baik, Seorang dalam mempelajari semantik memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan orang yang mempelajarinya. Walaupun bagi orang awam teori semantik tidaklah diperlukan, tapi pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan.
Semua informasi yang ada di sekeliling manusia sebagai makhluk sosial harus mereka serap melalui bahasa, melalui dunia lingual. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup tanpa memahami alam sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa. Bahasa yang berisi informasi itulah yang kaya akan makna. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan “bahasa tanpa makna tidak akan dianggap penting”. Meskipun demikian informasi yang disampaikan  juga harus logis, memiliki keselarasan hubungan dan kesatuan gagasan.

4.      DARTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2001. Semantik (Pengantar Studi tentang Makna). Bandung: Sinar      Baru Algensindo.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka          Cipta.

Meirani, Wasitoh dan Welly Ardiansyah. 2010. Bianglala Bahasa dan Sastra.        Jakarta: Penerbit Azhar.

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Ullmann, Stephen. 2009. Pengantar Semanatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahidy, Achmad. 2011. Pragmatik. Palembang: Universitas PGRI Palembang.

Saturday, March 15, 2014

Cinta pertama


Sahabat,
dalam pekat yang melekat
kutatap pasat gambarmu
musnahkan penat yang tersirat
aku terpukau
Hatiku,
tanyaku mengapa kau bergetar
sedangku tak ingin datangkan risau
logika tak kuat mengusir
meradang rindu dalam kalbu

Sahabat hatiku,
namamu telah terukir dalam catatan harianku
asal-usulmu telah menggebyar dalam diskusi kehidupanku
merdu suaramu telah mengalir dalam derasnya ombak batinku
bendera merah hati telah berkobar mengikuti angan harapku
rasaku pun telah menyebar dalam untaian asaku

Sahabat hatiku,
jantungku kiat berdebar
saat kau nyata disekatku
senyummu pun mampu mengukir
pujian dalam hatiku