Mataku
terasa berat, entah karena aku tak tidur atau karena lelah menangis semalaman.
Tak ku hiraukan sapaan burung-burung dan ku acuhkan begitu saja senyum sang
mentari, aku masih ingin disini. Suara merdunya parau, tak fasih lagi
berbahasa, hanya beberapa kalimat yang selalu terucap bahkan maknanya saja
sudah tak bisa ku pahami. Tulang-tulang pipi sudah mulai nampak di usia
remajanya, sulit ditebak apa yang ia fikirkan.
Dahulu
ia merupakan sosok idaman yang selalu tampil enerjik, bukan hanya dikagumi
banyak lelaki, hatinya yang tulus membuatnya begitu dicintai para sahabat,
tetangga, dan lingkungan dimana ia singgah. Aktif berperan dalam berbagai
olimpiade membuat sekolah tertarik mengikitsertakannya dalam penerimaan
beasiswa untuk melanjutkan belajar ke salah satu perguruan tinggi negeri yang
ada di Indonesia. Berbeda denganku, aku kurang beruntung untuk mendapatkan
kesempatan itu. Aku hanyalah seorang anak yang diangkat oleh keluarga kaya raya,
tak ada cinta kasih yang ku dapat, hanya belas kasih Nadialah yang membuatku
hidup dan bertahan hingga saat ini. Ia adalah kakak perempuanku.
Nadia,
putri tunggal keluarga konglomerat yang kini harus memperjuangkan hidup
keluarganya. Semanjak ayah mendekap dipenjara karena tuduhan korupsi dan
difonis delapan tahun penjara, sejak saat itu pulalah, ibu sangat terpukul, tak
ingin makan, minum, hanya murung seharian. Ingin sekali ku ringankan bebannya,
tapi bagaimana? Bahkan melihatku saja ia tak ingin. Hanya Nadialah yang bisa
membuatnya merasa damai. Dan takkan pernah menjadi Diana.
Aku
yang akan memasuki kelas tiga di sekolah menengah atas ini tak bisa berbuat
apa-apa untuk meringankan beban saudaraku, seorang wanita yang kini
menggantikan posisi kepala keluarga untuk sementara waktu. Aku masih ingat
ketika itu ibu meminta Nadia menjadi seorang pengacara agar bisa membebaskan
ayah, mereka saling merangkul dalam waktu yang cukup lama bahkan tak sedikit
air mata yang mengalir. Karena itulah aku sempat ingim membenci kakakku, aku
bahkan tak diperbolehkan menyentuh ibu, apalagi memeluknya. Sungguh, aku ingin
ada dihatinya.
Aku
sangat mengenal Nadia, tak jarang tugas matematika dan fisikaku ia kerjakan
dengan cepat walaupun ia tak pernah membantu mengerjakan tugas sejarah dan PKnku,
yang jauh lebih mudah dibanding angka-angka, yang sering membuat kepalaku
hampir meledak, aku tetap mengaguminya. Tapi, disanalah letak kebahagiaanku
karena akhirnya ku dapatkan cela dimana aku bisa membanggakan diriku dan
menjadikannya nomor dua, tiga, atau jauh setelahku. Aku sedikit terkejut ketika
mendengar Nadia akan melanjutkan kuliahnya di jurusan hukum. Membuatku sadar
ternyata ia hanya berpura-pura tak menyukai pelajaran yang dituntut menyertakan
nalar. Ia pernah berkata padaku, menghafal adalah hal yang paling ia benci.
Namun, ternyata semua itu ia katakan hanya untuk menyenangkan hatiku, agar aku
terlihat lebih darinya. Ia telah berhasil membodohiku, betapa malunya aku. Ia
benar-benar ahli membuat orang bahagia. Ialah kakak perempuan yang ingin selalu
ku cintai.
Perlahan
keadaan mulai berubah saat ku sadari kealfaannya untuk menyapaku, bahkan pernah
seminggu penuh tak ku lihat batang hidungnya. Ia hanya berpesan agar aku lebih
giat dalam belajar, kelak aku harus membantunya membebaskan dan membersihkan
nama ayah yang dituduh menggelapkan uang rakyat. Yah, tuduhan yang
merobek-robek hati kami, merebut sosok pemimpin dalam keluarga ini. Walau aku
tak begitu mengenalnya tapi Nadia yakin ini hanya fitnah keji yang ditujukan
pada ayah, aku sangat percaya pada kakakku.
Ketika
itu aku berfikir, apakah aku hahrus pergi sejenak menemui Nadiaku yang hampir
seminggu tak pulang. Namun, fikiran itu terus terkubur karena aku harus menjaga
ibu. Setelah berkali-kali berfikir keras akhirnya ku putuskan untuk mencarinya
sepulang sekolah. Hampir satu jam ku tebar pandang di setiap sudut kampus,
tetap tak ku temukan Nadia. Akhirnya ku beranikan diri menyapa seorang wanita
asing yang berdiri dihadapanku, tak sia-sia sebuah alamat sudah ada ditanganku.
Tapi, haruskah ia mengontrak rumah agar lebih fokus belajar? ini tak masuk
akal! Bukankah jarak rumah dan kampus hanya setengah jam saja bila menggunakan bus.
Karena penasaran ku beranikan diri melangkah lebih jauh, aku ingin
memperlihatkan nilai ujian matematikaku.
Setelah
ku telusuri alamat yang tertera pada selembar kertas usang ini, bukanlah alamat
rumah yang ku temui, namun alamat sebuah café yang hanya buka disore hari
hingga tengah malam. Berkali-kali kalimat Tanya itu muncul di benakku, apa sebenarnya
yang dilakukan Nadiaku disini hingga ia jarang pulang?
Setelah
cukup lama merenung, di kejauhan terlihatlah punggung seorang wanita yang ku
fikir adalah Nadia, karena bentuk tubuhnya begitu ku kenal hanya saja yang
membedakan adalah pakaian yang ia kenakan, pakaian yang wajib dikenakan setiap
karyawan café tersebut.
“Nadia?”,
sapaku kaget ketika ia berbalik saat ku sentuh pundaknya.
Bak
disambar petir disiang hari, ini membuat suhu tubuhku mendadak tinggi. Lebih
kurang lima belas menit suasana hening mencekamku, hatiku bertanya-tanya,
tidakkah Nadia ingin menjelaskan sesuatu padaku?
“aku
bekerja karena semua mata kuliah tidak ada lagi di jam sore” ia mencoba
menenagkanku. “bukankah sudah ku katakana tugasmu hanya belajar dan menjaga
ibu, lalu kenapa kau ada disini?” sambungnya dengan nada datar.
Ada
yang berbeda. Nafasnya terdengar lebih berat, matanya Nampak lebih cekung dan
ia sungguh terlihat kurus. Tak ada alasan untukku berlama-lama disini, ku
putuskan untuk menyudahi pertemuan hari ini dan segera pulang kerumah.
Setelah
pertemuan itu, tak ku temui lagi keceriaan dirautnya. Aku sangat menyesal, saat
itu kenapa aku tak memintanya pulang bersama, kenapa tak ku peluk ia untuk
sekedar meringankan yang berat, kini ia terbaring lemah ditengah perjalanan yang
telah ia tata dengan rapi, mengabaikan semua keluh kesah hanya untuk
membahagiakan orang lain, itulah Nadia, tapi aku tak menyangka akhirnya akan
seperti ini. Beberapa sarafnya terganggu, tak sedikit dokter yang menyarankan
untuk membawa Nadia ke psikolog bahkan kerumah sakit jiwa. Nadia berjuang
begitu keras, sehingga membuatnya begitu lelah, seharusnya aku tak sepakat saat
ia memutuskan mengambil jurusan hukum ketika aku tahu ia tak suka menghafal,
seharusnya aku tahu lebih awal ketika ia berjuang keras membiayai sekolahku dan
menabung begitu banyak untuk kuliahku nanti, seharusnya hari itu aku datang
untuk menjemputnya pulang beristirahat.
Malam
kian pekat, hanya beberapa jangkrik kotalah yang setia menemaniku. Kini
keinginanku untuk kuliah telah musnah, ku harus bekerja keras untuk mereka,
keluargaku. Lebih kurang dua tahun ku sibukkan diri dengan giat mengirim
tulisan-tilisanku ke berbagai surat kabar. Dan tak sia-sia kini novel yang ku
tulis berhasil menembus pasaran dan diminati banyak pencinta sastra. dari hasil
tulisanku, kuputuskan untuk menulis sambil kuliah. Di usiaku yang ke tiga puluh,
aku berhasil menyandang gelar Magister Hukum di sisa hidupku, aku ingin tetap
disini, merawat keluargaku hingga akhir hayatku.
No comments:
Post a Comment