Sunday, March 16, 2014

Pengabdian terindah



Mataku terasa berat, entah karena aku tak tidur atau karena lelah menangis semalaman. Tak ku hiraukan sapaan burung-burung dan ku acuhkan begitu saja senyum sang mentari, aku masih ingin disini. Suara merdunya parau, tak fasih lagi berbahasa, hanya beberapa kalimat yang selalu terucap bahkan maknanya saja sudah tak bisa ku pahami. Tulang-tulang pipi sudah mulai nampak di usia remajanya, sulit ditebak apa yang ia fikirkan.
Dahulu ia merupakan sosok idaman yang selalu tampil enerjik, bukan hanya dikagumi banyak lelaki, hatinya yang tulus membuatnya begitu dicintai para sahabat, tetangga, dan lingkungan dimana ia singgah. Aktif berperan dalam berbagai olimpiade membuat sekolah tertarik mengikitsertakannya dalam penerimaan beasiswa untuk melanjutkan belajar ke salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Berbeda denganku, aku kurang beruntung untuk mendapatkan kesempatan itu. Aku hanyalah seorang anak yang diangkat oleh keluarga kaya raya, tak ada cinta kasih yang ku dapat, hanya belas kasih Nadialah yang membuatku hidup dan bertahan hingga saat ini. Ia adalah kakak perempuanku.
Nadia, putri tunggal keluarga konglomerat yang kini harus memperjuangkan hidup keluarganya. Semanjak ayah mendekap dipenjara karena tuduhan korupsi dan difonis delapan tahun penjara, sejak saat itu pulalah, ibu sangat terpukul, tak ingin makan, minum, hanya murung seharian. Ingin sekali ku ringankan bebannya, tapi bagaimana? Bahkan melihatku saja ia tak ingin. Hanya Nadialah yang bisa membuatnya merasa damai. Dan takkan pernah menjadi Diana.
Aku yang akan memasuki kelas tiga di sekolah menengah atas ini tak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan beban saudaraku, seorang wanita yang kini menggantikan posisi kepala keluarga untuk sementara waktu. Aku masih ingat ketika itu ibu meminta Nadia menjadi seorang pengacara agar bisa membebaskan ayah, mereka saling merangkul dalam waktu yang cukup lama bahkan tak sedikit air mata yang mengalir. Karena itulah aku sempat ingim membenci kakakku, aku bahkan tak diperbolehkan menyentuh ibu, apalagi memeluknya. Sungguh, aku ingin ada dihatinya.
Aku sangat mengenal Nadia, tak jarang tugas matematika dan fisikaku ia kerjakan dengan cepat walaupun ia tak pernah membantu mengerjakan tugas sejarah dan PKnku, yang jauh lebih mudah dibanding angka-angka, yang sering membuat kepalaku hampir meledak, aku tetap mengaguminya. Tapi, disanalah letak kebahagiaanku karena akhirnya ku dapatkan cela dimana aku bisa membanggakan diriku dan menjadikannya nomor dua, tiga, atau jauh setelahku. Aku sedikit terkejut ketika mendengar Nadia akan melanjutkan kuliahnya di jurusan hukum. Membuatku sadar ternyata ia hanya berpura-pura tak menyukai pelajaran yang dituntut menyertakan nalar. Ia pernah berkata padaku, menghafal adalah hal yang paling ia benci. Namun, ternyata semua itu ia katakan hanya untuk menyenangkan hatiku, agar aku terlihat lebih darinya. Ia telah berhasil membodohiku, betapa malunya aku. Ia benar-benar ahli membuat orang bahagia. Ialah kakak perempuan yang ingin selalu ku cintai.
Perlahan keadaan mulai berubah saat ku sadari kealfaannya untuk menyapaku, bahkan pernah seminggu penuh tak ku lihat batang hidungnya. Ia hanya berpesan agar aku lebih giat dalam belajar, kelak aku harus membantunya membebaskan dan membersihkan nama ayah yang dituduh menggelapkan uang rakyat. Yah, tuduhan yang merobek-robek hati kami, merebut sosok pemimpin dalam keluarga ini. Walau aku tak begitu mengenalnya tapi Nadia yakin ini hanya fitnah keji yang ditujukan pada ayah, aku sangat percaya pada kakakku.
Ketika itu aku berfikir, apakah aku hahrus pergi sejenak menemui Nadiaku yang hampir seminggu tak pulang. Namun, fikiran itu terus terkubur karena aku harus menjaga ibu. Setelah berkali-kali berfikir keras akhirnya ku putuskan untuk mencarinya sepulang sekolah. Hampir satu jam ku tebar pandang di setiap sudut kampus, tetap tak ku temukan Nadia. Akhirnya ku beranikan diri menyapa seorang wanita asing yang berdiri dihadapanku, tak sia-sia sebuah alamat sudah ada ditanganku. Tapi, haruskah ia mengontrak rumah agar lebih fokus belajar? ini tak masuk akal! Bukankah jarak rumah dan kampus hanya setengah jam saja bila menggunakan bus. Karena penasaran ku beranikan diri melangkah lebih jauh, aku ingin memperlihatkan nilai ujian matematikaku.
Setelah ku telusuri alamat yang tertera pada selembar kertas usang ini, bukanlah alamat rumah yang ku temui, namun alamat sebuah café yang hanya buka disore hari hingga tengah malam. Berkali-kali kalimat Tanya itu muncul di benakku, apa sebenarnya yang dilakukan Nadiaku disini hingga ia jarang pulang?
Setelah cukup lama merenung, di kejauhan terlihatlah punggung seorang wanita yang ku fikir adalah Nadia, karena bentuk tubuhnya begitu ku kenal hanya saja yang membedakan adalah pakaian yang ia kenakan, pakaian yang wajib dikenakan setiap karyawan café tersebut.
“Nadia?”, sapaku kaget ketika ia berbalik saat ku sentuh pundaknya.
Bak disambar petir disiang hari, ini membuat suhu tubuhku mendadak tinggi. Lebih kurang lima belas menit suasana hening mencekamku, hatiku bertanya-tanya, tidakkah Nadia ingin menjelaskan sesuatu padaku?
“aku bekerja karena semua mata kuliah tidak ada lagi di jam sore” ia mencoba menenagkanku. “bukankah sudah ku katakana tugasmu hanya belajar dan menjaga ibu, lalu kenapa kau ada disini?” sambungnya dengan nada datar.
Ada yang berbeda. Nafasnya terdengar lebih berat, matanya Nampak lebih cekung dan ia sungguh terlihat kurus. Tak ada alasan untukku berlama-lama disini, ku putuskan untuk menyudahi pertemuan hari ini dan segera pulang kerumah.
Setelah pertemuan itu, tak ku temui lagi keceriaan dirautnya. Aku sangat menyesal, saat itu kenapa aku tak memintanya pulang bersama, kenapa tak ku peluk ia untuk sekedar meringankan yang berat, kini ia terbaring lemah ditengah perjalanan yang telah ia tata dengan rapi, mengabaikan semua keluh kesah hanya untuk membahagiakan orang lain, itulah Nadia, tapi aku tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Beberapa sarafnya terganggu, tak sedikit dokter yang menyarankan untuk membawa Nadia ke psikolog bahkan kerumah sakit jiwa. Nadia berjuang begitu keras, sehingga membuatnya begitu lelah, seharusnya aku tak sepakat saat ia memutuskan mengambil jurusan hukum ketika aku tahu ia tak suka menghafal, seharusnya aku tahu lebih awal ketika ia berjuang keras membiayai sekolahku dan menabung begitu banyak untuk kuliahku nanti, seharusnya hari itu aku datang untuk menjemputnya pulang beristirahat.
Malam kian pekat, hanya beberapa jangkrik kotalah yang setia menemaniku. Kini keinginanku untuk kuliah telah musnah, ku harus bekerja keras untuk mereka, keluargaku. Lebih kurang dua tahun ku sibukkan diri dengan giat mengirim tulisan-tilisanku ke berbagai surat kabar. Dan tak sia-sia kini novel yang ku tulis berhasil menembus pasaran dan diminati banyak pencinta sastra. dari hasil tulisanku, kuputuskan untuk menulis sambil kuliah. Di usiaku yang ke tiga puluh, aku berhasil menyandang gelar Magister Hukum di sisa hidupku, aku ingin tetap disini, merawat keluargaku hingga akhir hayatku.







No comments:

Post a Comment