I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kajian postkolonial dalam bidang budaya memang tergolong baru. Bahkan, mungkin masih jarang yang berani menerapkan teori kajian ini ke dalam wilayah budaya. Karena, awal munculnya paham tersebut berasal dari kajian sastra (postkolonial literature) yang dipelopori oleh Bill Aschroft dkk (dalam Endraswara : 2013). Paham ini, semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek etnisitas.
Sebagaimana kehadiran postmodernisme dalam kajian budaya, yang juga dipicu oleh teori-teori sastra dan seni, postkolonialisme pun sebenarnya layak diangkat untuk mengkaji budaya. Konteks penjajahterjajah, dalam fenomena budaya sebenarnya lebih kaya. Banyak hal yang unik dan menarik untuk diungkap melalui teori postkolonialisme. Hegemoni penjajah yang luar biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. Begitu pula persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham postkolonialisme.
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya memang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.
Akan semakin rumit lagi, kalau posmodernisme sekedar diterima sebagai pengolok-olok wawasan modern. Akibatnya, mereka menerima tak ke dasar yang jelas, melainkan sekedar kulit-kulit saja. Penerimaan yang setengah-setengah, jelas akan memojokkan postmodernisme, sehingga boleh jadi menganggap paham tersebut sekedar buru-buru, reaksioner, dan lebih bersifat sembrana. Apalagi, penambahan awalan “post” dan akhiran “isme” tersebut, oleh beberapa pemikir budaya masih diragukan. Apakah “post” menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka.
1.2 Rumusan masalah
Dari Penjelasan diatas maka didapatkah rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah penelitian sastra model Postmodernisme dan Poskolonialisme?
II PEMBAHASAN
Penelitian sastra : Model Postmodernisme dan Poskolonialisme
2.1 Kajian Dekonstruksi
2.1.1 Antar Pasca-struktural, Dekonstruksi, dan Postmodernime
Istilah-istilah ini sering menggoda peneliti sastra dan sekaligus juga menggoda pencipta sastra. Oleh karena ketiga istilah itu akan terkait pada penciptaan dan penelitian sastra. Ketiga istilah tersebut hadir juga saling terkait satu sama lain sehingga sulit dipisahkan.
Pengertian Pasca-struktural hasil sebagai penentang atau pembangun kajian structural sastra. Kajian pasca-struktural secara otomatis akan “melupakan” struktur (mendekonstruksi) karya sastra. Maka, paham pasca-struktural juga sering ada yang menyebut kajian dekonstruksi. Yakni, sebuah ragam penelitian sastra yang tidak begitu menghiraukan struktur. Artinya, memahami karya sastra boleh dari sisi apa saja. Karena paham ini begitu bebas, tak terikat struktur, di antara peneliti sastra ada yang menyebutkan poskolonialisme. Istilah ini sebagai kontras paham structural yang masih terkategorikan modern.
Perlu diketahui, istilah postmodern, menurut Sarup (dalam Endraswara 2013:167) memang berawal dari sebuah gerakan seni dan budaya, termasuk di dalamnya sastra. Kaum postmodern yang dipelopori Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition, telah menentang mitos-mitos modern. Postmodern telah menghilangkan batas-batas antara seni dan kehidupan masa kini, antara elit yang hirarkhis dengan budaya popular, dan antara gabungan stilistik dengan percampuran kode. Melalui terobosan postmodern, telah mengubah hal-hal yang tak mungkin terjadi menjadi mungkin. Ciri khas postmodern adalah kehadiran sastra yang penuh parodi-parodi terhadap kehidupan (Eagleton, dalam Endraswara 2013:168).
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa postmodern menjadi lawan kajian sastra modern. Kaum modern biasanya masih berhenti pada kajian struktural sastra. Kajian ini juga ditentang oleh kaum pasca-strukrual. Untuk mencapai kajian tersebut harus berani melakukan dekonstruksi, karena teks sastra bukan satu-satunya informasi tunggal. Paham dekonstruksi meyakini bahwa teks sastra justru akan menciptakan makna baru setelah dikaji. Karenanya, tanpa dekonstruksi yang melebar keluar teks, makna yang sering meloncat-loncat akan sulit ditangkap oleh peneliti.
Jadi, kajian pasca-struktural maupun dekonstruksi boleh disebut juga post modern. Postmodern berarti sebagai pijar penelitian yang selangkah lebih maju dari modernitas. Jika kaum modern sangat mengandalkan sebuah tradisi sastra yang tertata rapi, menganut hokum-hukum tertentu, peneliti postmodern telah lebih dari itu. Mungkin sekali, kaum modern akan memandang postmodern sebagai wilayah kajian sastra yang kacau balau, tak beraturan, dan tak komunikatif. Hal ini pun disadari oleh kaum posmodernis, karena kelahiran mereka memang dilatar belakangi oleh pemahaman sastra dari sisi modernitas yang sangat patuh pada rumus-rumus tertentu.
Dari pandangan demikian, tidak berarti postmodern hadir asal beda dengan modernitas. Namun, “dia” hadir sengaja untuk melengkapi hal ikhwal penelitian sastra dari sisi modern yang sering mengesampingkan hal-hal kecil. Jadi peneliti sastra modern, sering menganggap bahwa karya baik adalah karya besar, karya yang lahir dari pusat, tentu hal demikian ditentang oleh postmodenisme. Karena sifatnya yang radikal itu, postmodernisme berusaha untuk mendekonstruksi keadaan. Dari susunan-susunan rapi dan tertata itu postmodern ingin mendobrak dan atau merusak konstruksi untuk menghasilkan konstruksi baru yang lebih handal.
Dengan demikian, antara pasca-struktural, dekonstruksi, dan postmodern kurang lebih memiliki harapan yang tidak jauh berbeda. Ketiga-tiga hendak berupaya memahami karya sastra yang sebebas mungkin. Hal ini perlu dipahami, karena pada perkembangan mutakhir juga banyak karya-karya sastra yang sering “lari” dari struktur. Tidak sedikit pula tipografi-tipografi karya sastra yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap, puisi eksperimen, puisi mini kata, puisi tanpa kata dan sebagainya. Keadaan inilah yang memakna para peneliti sastra melakukan terobosan. Begitu pula dengan sering hadirnya karya-karya surrealism, jika hanya dipahami menurut struktur atau cara modern, kemungkinan besar akan gagal.
2.1.2 Karakteristik Kajian Dekonstruksi
Dekonstruksi memang berpusat pada teks, ia tak lepas dari teks, tetapi paham yang dipegang lebih luas. Teks tidak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksi, menganggap bahwa bahasa teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan, sebuah tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalikan tema besar itu. Karenanya, pemahaman teks tidak selalu berurutan, melainkan boleh bolak-balik.
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati ( tetap ) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan dan menentang segala kemungkinan.
Telah disadari bahwa pemahaman sebuah karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan sia-sia. Itulah sebabnya, Junus (dalam Endraswara 2013:170) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna teks berawal dari struktur kemudian menambah kekuatan makna berdasarkan struktur tersbut. “kekuatan” yang dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.
Kajian dekontruksi sastra akan selalu tidak percaya arti bahasa. Kajian struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tidak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstruksi yang ingin selalu ada kebaruan paham sastra. Dalam kaitan ini, Roland Barthes yang dikutip oleh Endraswara (2013:170) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi sebagi berikut:
- Mendasarkan semua unsur (stuktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak ada satu unsur pun yang dianggap tidak penting atu tidak mampunyai peranan.
- Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui bahwa apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua unsur (jaringan x) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan x dan y).
Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tetutup kemungkinan sebuah teks sastra dipahami berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode diluar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan yang paradoksal. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali.
Dalam kaitan itu, Roland Barthes yang dikutip dalam Endraswara (2013:170) menyatakan bahwa teks sastra memiliki makna ganda. Misalkan saja kita membaca teks sastra erotic atau pornografi, tentu akan melibatkan dua kenikmatan yaitu kenikmatan dan kebahagiaan. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai kenikmatan. Hal itu berarti bahwa “makna” sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal.
Yang lebih tajam lagi, Foucoult yang dikutip dalam Endraswara (2013:171) berpendapat bahwa tidak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam teks sastra. Jika selama ini telah terjadi kritik sastra (baca:strukturalis) sesungguhnya mereka itu hanya berlebih-lebihan, karena sering memotong hubungan antara teks sastra dengan kenyataan. Teks sastra, bersifat “keduniaan”, karena pemaknaannya sering tidak lepas dari otoritas dan kekuasaan, itulah sebabnya pemaknaan teks sastra harus dipandang dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat perlu memandang dan mendekontruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.
Dari penjelasan demikian, dapat dikatakan bahwa kehadiran penelitian dekontruksi, merupakan estafet studi sastra sebelumnya. Paham dekontruksi ini tampaknya memang belum mendapatkan anginsegar dalam perkembangannya. Namun, sebagai sebuah sisi pandang penelitian, peneliti sastra sulit meninggalkan paham ini. Paham ini sekaligus menjadi koreksi terhadap teori penelitian sastra sebelumnya. Paling tidak, asumsi yang struktural atau yang lain yang selalu mendewasakan teks secara otonom, harus patah dengan dekontruksi.
2.1.3 Teori Analisis
Dekontruksi memulai penelitiannya mulai dari mana saja, dari samping, tengah, pinggir, hal kecil tidak menjadi soal. Dekonstruksi dengan gigih selalu menolak dan ingin menghancurkan pemusatan yang dianggap memiliki kelemahan. Sebagai langkah awal Derrida yang dikutip oleh Endraswara (2013:171) mengenalkan teori penelitian semiotik model gramatologi. Gramatologi ini merupakan teori semiotik alternative. Sasarannya adalah mempertimbangangkan kembali tentang nilai-nilai tradisi seperti tanda, kata, dan tulisan. Namun demikian, tidak berarti dekonstruksi meniggalkan sistem tanda yang telah dibangun Sausurre, melainkan ia mencoba meramu bersama teori Lacan dan Levi Strauss, untuk mempertajam teori sebelumnya sampai pada konsekuensi yang radikal.
Jika konsep Sausurre dalam semiotik selalu membagi dikotomi penanda dan petanda, Derrida menolak hal ini, pembagian penanda dan petanda demikian, seakan-akan membuat keduanya merupakan substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagai gantinya, dekonstruksi menawarkan jejak (Faruk yang dikutip oleh Endraswara, 2013:171). Jejak bersifat misterius dan tidak tertangkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada aktivitas yang menyeluruh, bersifat omnipresen tetapi tetap luput dari jangkauan. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus, dan meloncat-loncat.
Jika paham semiotik logosentrisme selalu mengandalkan makna pada logika, pada kata yang diucapkan, pada suara pikiran, dan kebenanran kebenaran ditentukan oleh suatu yang hadir, Dekonstruksi tidak demikian. Derrida justru mengarah ke neologisme dalam pemahaman fenomena. Fenomena sastra dan budaya dipahami melalui konsep difference. Difference tidak dapat dianggap sebagai suatu peristiwa, ia tidak bersumber dari moment awal yang berupa kesatuan yang tidak terganggu. Pembalikan dan penundaan yang fundamental yang tersirat pada difference akan lenyap tk tertangkap apabila kita menganggapnya sebagai peristiwa (yang ada atau yang pernah ada). Kualitas pembalikan dan permainan yang khas dari difference adalah menjauhnya penampilan sebagai sunber asal, keberadaan yang hadir, sebagai konsep kunci atau kata kunci. Dengan kata lain, dekonstruksi tidak menawarkan pusat baru, tidak menawarkan apa-apa. Ia mencoba melacak jejak, operasi differensi yang bekerja diam-diam dalam logosentrisme, teks-teks logosentrik.
Selain difference dalam penelitian dekonstruksi adal hal-hal lain yang patut diperhatikan yaitu titik-titik aporia. Titik aporia adalah unit-unit wacana yang mempu menimbulkan kebuntuan makna atau suatu figure yang menimbulkan kesulitan penjabaran. Titik aporia ini akan menimbulkan alusi, yaitu tatkala ditemukan sebuah unit teks-teks lain, atau peristiwa-peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Caranya dengan mensejajarkan atau mempertentangkan dengan unut wacana yang dihadapi. Hasil akhir akan ditemui dua hal, yaitu retrospektif dan prosfektif.
Maksud retrospektif adalah cara kerja dekonstruksi yang diawali dengan pencarian untit wacana yang menimbulkan kebuntuan, selanjutnya unit wacana itu dipertentangkan atau disejajarkan dengan unit lain dalam teks yang sama. Namun demikian, hasil akhir tetap terpancang pada teks yang dihadapi. Lain halnya dengan propektis, cara ini tidak terbatas pada unit wacana yang dihadapi dalam teks saja, tetapi perlu dilacak diluar teks obyek.
Relevansi dekonstruksi pada bagi penelitian sastra ada empat hal yaitu :
- Terdapat keterkaitan terhadap serangkaian konsep kritik, termasuk konsep kesastraan itu sendiri. Relevansi ini terjalin karena adanya hubungan antara sastra dan filsafat, sastra dapat dipandang sebagai perkembangan dari sastra, filsafat adalah sastra yang digeneralisasikan;
- Sebagai sumber tema, sebagai contoh adalah tema kehadiran/ ketidakhadiran, sentral/ marginal, tulisan/ tuturan;
- Sebagai contoh strategi pembacaan, yaitu terletak pada keberanian peneliti sastra untuk sampai pada tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetrik dan hirerkhis, memperhatikan term-term yang mengandung argument bertentangan, membuat tertarik pada sesuatu yang menentang interpretative otoritatif. Mencari gerak teks terdahulu yang akan ditolak oleh teks yang lahir kemudian, memperhatikan elemen-elemen yang dianggap marginal, yang dikeluarkan oleh teks itu sendiri maupun interpretasi mengenainya;
- Sebagai gudang cadangan saran-saran mengenai kodrt dan tujuan kritik sastra itu sendiri. Akan membuat kritik sastra akan mencairkan segala kemutlakan seperti kemutlakan tentang makna yang sudah ada, makna penngalaman pembaca dan sebainya, yang terdapat dalam strukturalisme.
Sejumlah anggapan yang minor ini, tampaknya tidak melemahkan penganut dekonstruksi. Karena dekonstruksi hadir justru ingin melengkapi, atau ekstremnya melawan model penelitian lama yang gagal memahami karya sastra. Apalagi, karya sastra yang dilahirkan pengarang semakin kompleks, dan menggunakan bentuk-bentuk yang spektakuler. Serta memanfaatkan imajinasi-imajinasi yang kadang-kadang bebas struktur, maka diperlukan kontruksi baru bagi pemahaman sastra.
Pada dasarnya sdekonstruksi merupakan pengembangan dari post-strukturalisme. Bahkan junus menyebutkan dekonstruksi sebagai pasca-strukturalisme yang ekstrem. Sifat ekstrem yang dimaksud adalah pemaknaan karya sastra dapat dimulai dari aspek apa saja bahkan aspek yang sangat kecil yang semula tidak banyak menarik perhatian orang. Setiap makna tidak lagi diikat oleh struktur. Ia bisa berdiri sendiri dari sebuah jalinan unsur. Dari sini, maka unsur yang semula kurang atau tidak bermakna, sekarang menjadi bermakna dan berfungsi.
2.2 Postkolonialisme
2.2.1 Dasar-dasar Poskolonial
Pada gilirannya penelitian sastra dapat menggunakan kajian poskolonial. Kajian yang mencoba merangkum dari dasar kajian sebelumnya, tampaknya akan segera mendapat tempat istimewa di kalangan pendukungnya. Model kajian ini, memang masih baru ditelinga kita. Meskipun sebenarnya telah berusia panjang.
Paham tersebut, semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Model national memusatkan hubungan pada hubungan antara Negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekankan aspek etnisitas. Model nasional demikian tidak mencari hubungan interteks seperti studi sastra bandingan, melainkan lebih pada konsep penngaruh lingkungan ke sastra, pengaruh polotik ke sastra, dan lain-lain. Studi ini sedikit banyak berbau sosiologi sastra. Peneliti berusaha memusatkan perhatian pada hegemoni Negara pada sastra. Di samping itu, juga meneliti kontra produktif dan sejumlah protes bawahan (terjajah) kepada hegemonic (kekuasaan).
Model black writing, lebih menitikberatkan pada aspek refleksi etnisitas ke dalam sastra. Misalkan saja, peneliti mengungkap tradisi subcultural (Jawa, Bugis, Bali, Sunda, dan lain-lain) ke dalam sastra nasional. Sastra nasional di anggap mewakili keinginan penguasa dan kolonialis. Gerakan-gerakan sastra local yang selalu tersubordinasi oleh pusat (hegemonik), akan menjadi pangkal tolak kajian. Begitu pula keluh kesah pribumi yang selalu inferior, akan dijadikan objek studi. Tentu saja juga akan diungkap bagaimana kehendak dan tanggapan penjajah terhadap pribumi. Biasanya pribumi lebih bernada lemah, sedangkan penjajah merasa superior. Penjajah berhak menentukan, dan pribumi yang ditentukan.
Sadar atau tidak, kehadiran postkolonial telah memperkaya studi sastra. Kejian sastra menjadi semakin lengkap, dan tidak hanya bergerak pada hal-hal formal dan intrinsik saja. Aspek-aspek ekstrinsik, terutama nilai-nilai historis tampaknya sulit diabaikan dalam pemahaman sastra. Satu hal yang patut mendapatkan tekanan dalam studi postkolonial antara lain harus mengelaborasi memori-memori masa lalu. Peneliti harus mampu menginterpretasi kearah kenangan-kenangan masa kolonial. Detail-detail unik dimasa kolonial harus dilacak. Hal semacam ini, tidak berarti bahwa studi postkolonialisme hanya bisa dilakukan oleh peneliti sekaligus pelaku sejarah. Kajian ini sangat terbuka, bahkan bagi peneliiti awal yang bukan pelaku sejarahpun memiliki kemungkinan. Yang penting, peneliti memiliki kemampuan membaca memori masa lampau.
2.2.2 Refleksi Sastra : “Penjajah” dan “Terjajah”
Karya sastra merupakan refleksi batin. Refleksi sastra di era kolonial, dapat berupa timbunan historis yang enak dan tidak enak. Karya sastra yang dilahirkan pada waktu kolonial berlangsung, tentu sedikit berbeda dengan karya satra yang lahir setelahnya (pascakolonial).
Karya sastra yang dilahirkan oleh pengarang yang sekaligus pejuang, pelaku sejarah, dengan pengarang sebagai pengamat sejarah akan memiliki nuansa yang berbeda. Apalagi kalau pengarang demikian sadar “membaca sejarah”, lalu menciptakan karya-karya berbau kolonial, tentunya akan berdimensi lain, karya-karya demikian perlu didekati dari kajian postkolonial, agar tertangkap apa yang ada dibalik karya tersebut.
Kajian postkolonial, dengan sendiri tidak akan melupakan aspek-aspek kolonial, yaitu “penjajah” dan “terjajah”. Kedua istilah ini, sengaja diberi tanda petik, karena implemantasinya sangat luas. Maksudnya tidak hanya terikat pada masa lalu, melainkan juga berhubungan dengan “penjajah” dan “terjajah” di dunia ketiga. Jadi, dalam kajian poskolonial, perlu melihat representasi historis, dan rentetan akar peristiwa tersebut ke dunia ketiga (poskolonial). Kata “post” disini perlu dimaknai luas, yaitu “setelah” kolonial. Karya-karya setelah kolonial, yang mencerminkan kolonialisme (lama dan modern) perlu dilihat dengan kacamata postkolonial.
Karya-karya didunia ketiga, dapat saja hanya merupakan imeralis karya sastra kolonial. Penjajahan masa kini, kemungkinan besar hanya mimikri dari masa lalu. Maksudnya, konstruksi “penjajah” dan “terjajah” selalu berkutat pada ikhwal subordinasi. “Penjajah” selalu duduk dalam posisi subyek, arogan, superior, ingin menang, dan menguasai pada masyarakat setempat (terjajah). Akibatnya, “terjajah” harus tunduk ke dalam segala hal, bersikap meniru, mengikuti jejak, dan tidak berkreasi sama sekali. Jika hal-hal demikian terungkap pada masa dunia ke tiga ini, berarti kreasi penulis sekedar salinan masa lalu. Yang menarik untuk dikaji dari aspek postkolonial, sebenarnya ada apa dibalik kehidupan “penjajah” dan “terjajah”?
Tegasnya, dalam sastra kita selalu terjadi ketegangan-ketegangan terus-menerus. Di satu pihak, ada gerakan yang ingin bertahan pada tradisi kolonial karena tidak semua warisan mereka jelek. Para penulis yang demikian biasanya lebih mendewakan sebuah hirakhi dan subordinansi kekuasaan. Kekuasaan selalu terbagi, bahwa penguasa lebih dominan dan bawahan selalu lemah. Dilain pihak, ada juga penulis yang berusaha lari dari tradisi kolonial dan kekinian. Keadaan ini, jelas memerlukan kajian postkolonialisme untuk melihat lebih jauh.
2.2.3 Teori Poskolonialisme : Mimikri dan Hibriditas
Kunci filosofi kajian postkolonial adalah kenangan. Peneliti hendaknya terbiasa mengenang masa silam. Manusia, pada dasarnya memiliki daya memori yang luar biasa. Bahkan Lacan dikutip dalam Endraswara (2013:179) bergumam “cogito ego sum”, artinya saya berfikir maka saya ada. Berfikir berarti mengenang masa lalu. Masa lalu, yaitu ketika kolonialisme jaya dan berkembang.
Berikut beberapa hal yang layak diteliti oleh peneliti sastra postkolonial, yaitu:
- Mengkaji refleksi sejarah kolonial tentang penjajahan dan penaklukan fisik. Disini selalu ada penindasan kaum penjajah kepada terjajah. Maka munculah karya-karya sastra yang memuat perjuangan kedudukan, keadilan, hukum, dan sebagainya.
- Mengkaji refleksi ideologi, sebagai bentuk penaklukan pemikiran kaum terjajah. Biasanya, kaum terjajah merasa dikalahkan, tak berdaya, patuh dan setia pada penjajah.
- Mengkaji hegemoni kekuasaan penjajah terhadap terjajah. Penjajah biasanya memposisikan sebagai majikan, senang memerintah, dan terjajah menjadi bawahan. Karya sastra yang memuat perjuangan semacam ini, cukup banyak sehingga selalu terjadi penindasan secara diam-diam.
- Mengkaji hegemoni dari aspek gender. Biasanya kaum laki-laki penjajah, memperlakukan wanita terjajah sebagai obyek pemuas seksual.
Dari berbagai masalah tersebut, tampak bahwa kajian poskolonialisme lebih mencoba membandingkan dua kubu penjajah dan terjajah. Kajian hanya bisa dipahami melalui studi historis karya sastra. perjuangan kedua kubu itu yang selalu menyisakan buhungan “tuan dan budak”. Hubungan keduanya amat rumit, bahkan sering terjadi kekerasan fisik dan psikis.
2.2.4 Pendekatan Post-Modern
Jean-Francois Lyotard dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur.
Postmodernisme menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara legitimate art dengan popular culture.Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandard logic.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori postmodernisme singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya-kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai prodesun. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, dapat dipahami bahwa postmodern merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan.
Bauman (dalam Steven & Dauglas, 2003 : 232) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa, Kunci filosofi kajian postkolonial adalah kenangan. Peneliti hendaknya terbiasa mengenang masa silam.
Berikut beberapa hal yang layak diteliti oleh peneliti sastra postkolonial, yaitu:
- Mengkaji refleksi sejarah kolonial tentang penjajahan dan penaklukan fisik.
- Mengkaji refleksi ideology
- Mengkaji hegemoni kekuasaan penjajah terhadap terjajah.
- Mengkaji hegemoni dari aspek gender.
Dari berbagai masalah tersebut, tampak bahwa kajian poskolonialisme lebih mencoba membandingkan dua kubu penjajah dan terjajah. Kajian hanya bisa dipahami melalui studi historis karya sastra. perjuangan kedua kubu itu yang selalu menyisakan buhungan “tuan dan budak”. Hubungan keduanya amat rumit, bahkan sering terjadi kekerasan fisik dan psikis. Dan postmodernitas merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Iman Prasetyo, Teguh, 2008. Postmodernisme dan Postkolonialisme. (online) http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/post-modernisme- dan-post-kolonialisme. Diakses: 30 November 2013.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Best, Steven & Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern: Interogasi Kritis. Malang: Boyan Publishing.
No comments:
Post a Comment