Friday, October 11, 2013

Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan



I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
      Sebagaimana diketahui bahwa manusia  adalah sebagai kholifah allah di bumi, Sebagai kholifah, manusia mendapat kuasa dan wewenang  untuk melaksanakannya, dengan demekian pendidikan merupakan urursan hidup dan kehidupan manusia dan merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri. Untuk mendidik dirinya sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya sendiri, apa hakikat manusia, bagaimana hakikat hidup dan kehidupannya, apa tujuan hidup dan apa pula tujuan hidupnya.
     Filsafat, sebagai daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan integral serta sisitematis mengenal ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan  pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu, hakikat filsafat selalu menggunakan ratio (pikiran), dalam perjalanan hidupnya manusia di hadapkan kepada pengalaman-pengalaman peristiwa alamiyah yang ada di sekitarnya. Pengalaman-pengalaman lahir ini merupakan sejarah hidupnya yang mengesankan dan kemudian mendorong untuk melakukan perubahan-perubahan bagi kepentingan hidup dan hidupnya
     Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
    Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

1.2       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pendidikan dalam analisis filsafat itu?
  2. Bagaimana pendekatan filosofi dalam pemecahan masalah pendidikan?
  3. Bagaimana hubungan filsafat dan teori pendidikan ?


II PEMBAHASAN

2.1 Pancasila sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan  Nasional
     Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia,dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam pendidikan.
   P4 Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam kehidupan sehari-hari,termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila ituharuslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
   Belum ada upaya mengopersionalkan Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan –kegiatan di masyarakat,termasuk penerapanya dalam dunia pendidikan Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi lain. Pendidik mengajarkannya, peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian.
    Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara –cara mencapai tujuan pendidikan.Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.
     Teori-teori biasa didapat dengan cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan jugaBersumber dari buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa patung dengan cetakan luar negeri. Hasilnya tentu tidak persis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.

2.2 Pendidikan dalam analisis filsafat
   Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Lodge, yaitu bahwa: “life is education, and education is life”, akan berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan baginya. Dalam artinya yang sepit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol.
Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaanya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi mu, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugasnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan ciri-ciri kemanusiannya dan pendidikan formal di sekolah hanya bagian kecil saja dari padanya. Tetapi merupakan inti dan bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan secara keseluruhannya. 
      Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikan pun mempunyai ruang lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Memang diantara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah pendidikan yang sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula pula diantaranya yang menyangkut masalah yang bersifat mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin terjawabdengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat. Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kependidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya, antara lain:
  1. Masalah kependidikan pertama yang mendasar adalah tentang apakah hakikat pendidikan itu. Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia dan merupakan hakikat hidup manusia itu. Dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia. Apakah pendidikan itu berguna untuk membawa kepribadian manusia, apakah potensikereditas yang menentukan kepribadian manusia itu, atau faktor-faktor yang berasal dari luar/lingkungan dan pendidikan. Mengapa anak yang mempunyai potensi hereditas yang tidak baik, walaupun mendapatkan pendidikan dan lingkungan yang baik, tetap tidak berkembang.
  2. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah pendidikan itu untuk individu, atau untuk kepentingan masayarakat. Apakah pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah pembinaan manusia itu semata-mata unuk dan demi kehidupan riel dan materil di dunia ini, ataukah untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal
 Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis, atau analisa filsafat. Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut,
   Analisa filsafat menggunakan berbagai macam pendekatan yang sesuai dengan permasalahannya. Diantara pendekatan (approach) yang digunakan antara lain:
  1. Pendekatan secara spekulatif, yang disebut juga sebagai cara pendekatan reflektif, berarti memikirkan, mempertimbangkan, juga membeyangkan dan menggambarkan.
  2. Pendekatan normatif, artinya nilai atau aturan dan ketentuan yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam hidup dan kehidupan manusia.
  3. Pendekatan analisa konsep, artinya pengertian atau tangkapan seseorang terhadap sesuatu objek. Setiap orang mempunyai pengertian atau tangkapan yang berbeda-beda mengenai yang sama, tergantung pada perhatian, keahlian dan kecendrungan masing-masing. 
  4. Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang actual (scientific analysis of current life ) penedekatan ii sasarannya adalah masalah-masalah kependidikan yang actual , yang menjadi problem masa kini, dengan menggunakan metode ilmiah dapat di diskripsikan dan kemudian di pahami permasalan-permasalahan yang hidup dan berkembang dalam masayrakat dan dalam proses pendidikan serta aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan.

2.3 Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan dan Pendekatannya.
1.        Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan
      Manusia dalam mempelajari sesuatu tentulah memerlukan metode agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pula Filsafat Pendidikan dalam studinya menggunakan metode: a) metode rasionalistik, b) metode empirik, c) metode intuisi, d) metode reflektif, e) metode historis, dan f) metode analisis sintetis (Arifin, 2000:19-23), serta hermeneutika.
  •      Rasionalistik
  Rasionalistik, suatu paham yang mengedepankan rasio.  Sehingga paham ini dalam menganalisis fenomena (alam) berpegang pada kemampuan akal pikiran belaka. Adapun langkah-langkah berpikir rasionalitik sbb: 1). Tidak menerima begitu saja atas sesuatu yang belum diakui kebenarannya; 2). Menganalisis dan mengklasifikasi secara teliti; 3). Diawali sasaran yang paling sederhana dan mudah menuju yang kompleks; 4). Tiap masalah dibuat uraian yang sempurna dan dilakukan pengkajian kembali secara umum. Lankah-langkah tersebut dapat dipahmi bahwa untuk mengambil suatu kesimpulan memerlukan analisis secara teliti dan seksama, dan pengkajian ulang sehingga kecil kemungkinan terjadi bias.
  •       Empirik
   Metode ini dalam menganalisis fenomena-fenomena yang ada berdasarkan pengalaman, observasi dan penelitian/ eksperimen. Pengalaman menjadi sesuatu yang utama, baik yang dihasilkan melalui observasi, penelitian atau ekperimen. Rasio menjadi pendukungnya dari pengalaman. Metode ini dikedepankan dalam dunia ilmu pengetahuan yang dapat diuji kembali kebenerannya di lain waktu
  •      Intuisi
   Intuisi memiliki kadar lebih tinggi dibanding intelek. Namun intuisi ini sulit untuk dibuktikann secara empirik, sulit pula diukur. Sehingga sering disingkirkan sebagai metode berpikir khususnya di dunia ilmu pengetahuan.
  •      Reflektif
  Reflektif: suatu cara berfikir yang dimulai dari adanya problem-problem yang dihadapkan kepadanya untuk dipecahkan. Problem-problem yang ada menjadi titik berangkat pemikirannya, tanpa adanya problem-problem aktifitas refleksi pun sulit dilakukan. Berdasar problem-problem yang dihadapi akan melahirkan hasil pemecahannya. Perjalanan roda pendidikan selalu dihadapkan problem-problem yang terus meneruak muncul karena pendidikan suatu yang terus berkembang. Dan problem yang besar tidak lain adalah kenyataan.
  •      Historis
   Metode ini pada problem-problem tertentu dapat digunakan utuk mengatasi problem yang dihadapi secara wajar. Biasanya metode ini diawali dari suatu tesis kemudian anti tesis, selanjutnya melahirkan sintesis.
  •      Analitik-Sintetik
  Suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran, dan pemikirannya secara induktif dan deduktif serta analisa ilmiah.
Pemikiran induktif: cara berpikir yang berdasar fakta-fakta yang bersifat khusus terlebih dahulu dipakai untuk penarikan yang bersifat umum. Sedang deduktif: cara berpikir dengan menggunakan premise-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai kesimpulannya. Pemikiran induktif dan deduktif dapat digunakan dengan silih berganti, tergantung pada kesukaan dan kecenderungan pola pikir penggunanya.
Contoh pemikiran Induktif,
Buku 1 besar dan tebal adalah mahal
Buku 2 besar dan tebal adalah mahal
Konklusi : semua buku besar dan tebal adalah mahal
Contoh pemikiran Deduktif,
Premis mayor: Semua buku besar dan tebal adalah mahal
Premis minor : Buku 3 adalah besar dan tebal
Konklusi : buku 3 adalah mahal
Sementara Analitik-sintetik: Mengurai sasaran-sasaran pemikiran filosofis sampai unsur sekecil-kecilnya, kemudian memadukan kembali unsur-unsur sebagai kesimpulan hasil studi. Pemikiran analitik sintetik ini merupakan hasil paduan unsur-unsur baik yang dilakukan secara analitik maupun sintetik.
  •     Analisis Bahasa dan Analisis Konsep
   Analisis bahasa, usaha untuk mengetahui arti sesungguhnya dari sesuatu atau usaha untuk mengadakan interpretasi pendapat atau pendapat mengenai makna yang dimiliknya. Analisis konsep, Analisis kata-kata atau istilah-istilah yang menjadi kunci pokok yang mewakili suatu gagasan atau konsep. Analisis bahasa itu memberi interpretasi dari sesuatu pendapat, sedang analisis konsep mengurai kata kunci yang menjadi sample konsep.
  •      Hermeneutika
   Selain metode tersebut di atas, hermeneutika (takwil) dapat menjadi metode pemikiran dalam studi filsafat pendidikan karena melalui hermeneutika ini memungkinkan pengetahuan yang mendasar dapat diperoleh. Pengikut hermeneutika dalam mempelajari perilaku manusia mecari perspektif yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang paling mendasar. Takwil bukan sekedar teknik penelitian atau alat pengetahuan atau jalan menuju kebenaran, melainkan takwil adalah bidang pemahaman yang memungkinkan untuk mengkaji wujud secara baru dan memungkinkan untuk mendefinisikan kembali tentang sesuatu (Alwasilah, 2008:125,127). Hermeneutik suatu alat atau metode pengkajian untuk mendapatkan pemahaman pengetahuan atau kebenaran.
Metode-metode tersebut tidak selalu pas/relevan dan dapat digunakan disetiap obyek kajian. Untuk itu penggunaan metode harus mempertimbangkan relevansi bahan yang menjadi obyek pengkajian, penemuan atau pengembangan pendidikan, sehingga akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan tidak bias.

2.         Pendekatan Filsafat Pendidikan
        Pendekatan filsafat pendidikan dalam melakukan studinya, yaitu: 1) ajaran filsafat/aliran filsafat tertentu, dan 2) Pendidikan. Filsafat pendidikan dalam melakukan studinya akan merujuk pada ajaran filsafat, dan pendidikan. Untuk paham filsafat di antarnya seperti idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, eksistensialisme dan fenomenologi, sedang ajaran pendidikan seperti nativisme, empirisme dan konfergensi.

2.4 Hubungan filsafat dan teori pendidikan
   Hubungan antara filsafat dan teori pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai
  Sebagaimana telah di kemukakan bahwa tidak semua masalah kependidikan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak diantara masalah-masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, analisa filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan tersebut, dengan berbagai cara pendekatannya, akan dapat menghasilkan pendangan-pndangan tertentu mengenai masalah-maslah kependidikan  bisa tersebut. Dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori-teori pendidikan . disamping itu jawaban-jawaban yang telah di kemukakan oleh jenis dan aliran filsafat tertentusepanjang sejarah terhadap problematika kehidupanyg dihadapinya menunjukkan pandangan-pandangan tertentu yang tentunya juga akan memperkaya teori-teori pendidikan. Dengan demikian terdapat hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan
  Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan teori pendidikan dapat diuraikan sebagai berikut
1) Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara Pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori- teori pendidikannya, disamping menggunakan metode- metode ilmiah lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagi pandangan tertentu terhadap sesuatu obyek, misalnya filsafat idelisme, realisme, materialisme dan sebaginya, akan mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori- teori pendidikan yang dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu terhadap teori- teori pendidikan yang di kembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori- teori dan pandangan- pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh fillosof, tentu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan airan filsafat yang dianutnya.
2) Filsafat, juga berpungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat.
3) Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik).
       Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori pendidikan, juga terdapat hubungan yang bersifat suplementer, sebagai berikut :
4) Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan   pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta kon   sepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya.
5)   Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan Negara
  Definisi di atas merangkum dua cabang ilmu pendidikan yaitu, filsafat pendidikan dan system atau teori pendidikan, dan hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu “supplemen” terhadap yang lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan bukan hanya sebagai pengajar di bidang studi tertentu”.

2.5 Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
      Pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik  terhadap pendidikan itu sendiri,seperti telah diungkapkan diatas.
Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal diatas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal sebagai berikut
  1. Lebih dari separoh responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran
  2. Hampir separoh responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru
  3. Para mahasiswa dan dosen berpendapat ipendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan, dan
  4. Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan.Karena keragaman pandangan diatas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak
Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan,yaitu :
  1. Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran
  2. Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan
  3. Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
  4. Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
  5. Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
  6. Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani.  Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondiosi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
    Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterpkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
  Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usah merumuskan filsafat pendidikan Indonesiaini, yang kin baru falam tahap perhatian yang bersifat sporadic ? Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini sesuatu akan terjadi secara relative lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembanganya. Manakala pemrakarsa dapat mengugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.
            Upaya mendorong pemerintah untuk member isyarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang sidang  umum MPR (kompasa,27 Nopembert 1992), sebagai satu sumbangaan untukk bahan siding umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk siding itu,tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu.itu menunjukan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan di waktu-waktu yang akan datang kemauan itu akan muncul.
      Di samping kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi penjabanran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai sekarnag tidak setiap ahli diperkenankan menjabanrkan sila-sila Pancasila. Ynag diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin unutk menghindari kesimpang-siuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri
          Tetapi bila para ahli pendidikan yang berwenang merumuskan filsafat pendidikan tidak diperkenankan menjabarkan atua menafsirkan sendiri  sila-sila Pancasila itu akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bola hal itu tidak bias ditawar-tawar, mungkin  dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia bias diatasi.
Andaikan isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:
  1. Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain ?
  2. Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang sudah ada yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi agar cocok dengan kondisi Indonesia.
  3. Ataukah filsafat itu dimunculkan  bersumber dari filsafdat-filsafat umum yang berlaku secara Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan di Australia ,menyatakan filasfat yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dam multicultural ( Made Pidarta, 1995 ). Seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.
            ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas utama para ahli ilmu Pendidikan adalah (1) mengungkapkan pikiran yang sistematik dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan nasional yang akan dibentuk, dan (2) dalam mengungkapkan sumber-sumber dari luar termasuk teori pendidikan dan perlu diadakan saringan-saringan agar sesuai dengan filsafat negara kita.

III PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
          filsafat dan pendidikan itu saling berhubungan karena filsafat  merupakan ilmu  yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang pemikiran yang menggunakan akal sehat dengan  adanya kebenaran dalam memecahkan permasalahan/kesulitan. Sedangkan pendidikan adalah salah satu dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai tujuan, seperti kematangan, integritas atau kesempurnaan pribadi  dan  terbentuknya kepribadian muslim. Jadi filsafat dan pendidikan ini  saling berhubungan. Keduanya menjadi arah, dasar, dan pedomam suatu kehidupan.
   Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya Hubungan antara filsafat dan teori pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, Muhammad. 2007. Filsafat Pendidikan dan Implikasinya. RBI-Online. (www.rbi-online.com/filsafat-pendidikan-dan-implikasinya.html, diakses tanggal 10 Oktober 2013).
Bahri, Syamsul. 2007. Landasan Pendidikan. (http://www.wordpress.com/ syamsulbolg.html, diakses tanggal 10 Oktober 2013).
Fadli. 2010. landasan-filsafat-dalam- pendidikan. (http://fadlibae.wordpress.com/ landasan-filsafat-dalam-pendidikan, diakses tanggal 11 Oktober 2013)






Analisis Intrinsik dan ekstrinsik Cerpen 'Robohnya Surau Kami'



PENDAHULUAN

 Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya.Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya.Sesuatu yang ingin disampaikan pengarang adalah perasaan yang dirasakan saat bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.
            Salah satu bentuk karya sastra yang membicarakan manusia dengan segala perilaku dan kepribadiannya dalam kehidupan adalah cerpen. Membaca karya fiksi berupa cerpen berarti kita menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasaan batin, memberikan kesadaran mengenai gambaran kehidupan dan belajar untuk menghadapi masalah yang mungkin  akan kita  mengenai gambaran  kehidupan  dan belajar  untuk menghadapi masalah yang mungkin akan kita alami.
Sebagai karya, cerpen merupakan hasil ungkapan, ide-ide, gagasan dan  pengalaman pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Sebagai karya imajiner, cerpen menawarkan berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan dan kemudian diungkapkan kembali melalui sarana sastra dengan pandangannya.
Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis mengandung banyak pesan moral karena hasil imajinasi kejadian nyata dalam kehidupan manusia. Cerpen ini mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya..
Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Dalam menuangkan imajinasinya yang berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan, pengarang juga memasukkan unsur hiburan, percintaan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Penyelesaian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja bersifat subjektif.
Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana unsur intrinsik dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”?
2.      Bagaimana unsur ekstrinsik dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”?

PEMBAHASAN

Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, agar mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:
1.                  Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 3 (unfiled Notes Page 3)  berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 6 (unfiled Notes Page 6) gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya.

2.                  Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 3 (unfiled Notes Page 3).
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 24 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 4, unfiled Notes Page 4 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 6, unfiled Notes Page 6).
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 6 (unfiled Notes Page 6).
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
3.              Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 2, unfiled Notes Page 2 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 3, unfiled Notes Page 3)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 2, unfiled Notes Page 2)
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm. 3, unfiled Notes Page 3)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 2, unfiled Notes Page 2)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 5, unfiled Notes Page 5)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (unfiled Notes Page 5), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
4.                  Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:32) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 2, unfiled Notes Page 2).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (unfiled Notes Page 2).
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 2, unfiled Notes Page 2).
Rupanya si Kakek sedang dicekam konflik
Konflik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 3, unfiled Notes Page 3)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 6, unfiled Notes Page 6).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.6-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.2, unfiled Notes Page 2).

5.                  Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a.       Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.3, unfiled Notes Page 3)
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.6, unfiled Notes Page 6).
b.   Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.2, unfiled Notes Page 2)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c.   Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…( unfiled Notes Page 3).
d.   Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

6.                  Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….( unfiled Notes Page 2).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….( unfiled Notes Page 2).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

7.                  Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” ( unfiled Notes Page 2). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b.  Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut :
2.   Unsur-unsur Intrinsik
      a.  Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
      b.  Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1.      jangan cepat marah kalau diejek orang,
2.      jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3.      jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4.      jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5.      jangan egois.
      c.  Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar  sosial.
      d.  Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
      e.  Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1.      Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2.      Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3.      Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4.      Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.

f.  Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
      g.  Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.

Tinjauan atas Unsur Ekstrinsik
Judul                                      : Robohnya Surau Kami
Penulis                                   : Ali Akbar Navis
Kota terbit                   : Jakarta
Penerbit                       : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit                 : 1986
Agama Pengarang              :  Islam
Nilai-nilainya
a.       Nilai-nilai budayanya
Pola fikir yang kurang berpendidikan membuat kakek salah dalam mengambil keputusan, tidak ada keiginan untuk hidup lebih baik dan berkembang.
Ajo Sidi yang menyebalkan! Begitu diceritakan betapa mulut besar dirinya. Banyak omong, pembual. Dalam cerpen ini dijabarkan perkataan Ajo Sidi panjang lebar yang jelas menyindir. Menjengkelkan! Mungkin memang seperti budaya Sumatra yang masyarakatnya berwatak keras.Omongannya pedas, kasar, dan tajam.³Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang didunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begituyakin akan di masukkan ke dalam surga....µSalahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia? tanya Haji Saleh µTidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taatsembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapiengkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.
b.      Nilai-nilai sosial
Rasa atau sikap sosial masih ada walaupun cuma sedikit. Sifat iklas kakek dalam membantu terhadap tetangga-tetagganya.
Hal tersebut terbukti dalam cerita bahwa si Kakek dari muda tidak bekerja. Ia hanya menjaga surau dan mendapat sedekah. Ia tidak mencari pekerjaan yang pasti atau bahkan tidak berkarya dan menciptakan pekerjaan sendiri, hanya mengasah pisau yang penghasilnya sangat kecil dan tidak menentu. Baiknya di sini masih ada orang-orang yang sadar akan indahnya berbagi. Mereka yang menggunakan jasa asah pisau si Kakek memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-lakiyang meminta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang.
c.       Nilai-nilai moral
Perbuatan kakek yang siap membantu kapanpun dan tidak mengharap imbalan patut dicontoh.
Hal tersebut terbukti dalam cerita bahwa si Kakek dari muda tidak bekerja. Ia hanya menjaga surau dan mendapat sedekah. Ia tidak mencari pekerjaan yang pasti atau bahkan tidak berkarya dan menciptakan pekerjaan sendiri, hanya mengasah pisau yang penghasilnyasangat kecil dan tidak menentu. Baiknya di sini masih ada orang-orang yang sadar akan indahnya berbagi. Mereka yang menggunakan jasa asah pisau si Kakek memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang meminta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang.Lagi-lagi buruknya, ada juga yang hanya memberikan si Kakek ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Mereka adalah orang-orang yang
itungan
d.      Nilai-nilai agamanya
Ketaatan kakek dalam beribadah dan menyembah tuhan adalah salah satu perbuatan yang layak dicontoh.
Tergambar di dalam kutipan berikut :
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluargaseperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikinrumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak  pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini akudikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan,sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepadaumatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiapwaktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerimakarunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum
e.       Nilai Pendidkan
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
                      


PENUTUP

Kesimpulan
Karya sastra merupakan sebuah karya yang memiliki nilai edukasi, etika, dan estetika. Karya sastra juga memiliki aspek yang sangat penting, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua aspek tersebut harus dipandang sama, tidak boleh meletakkan bahwa unsure intrinsik yang lebih penting dari unsur ekstrinsik begitu juga sebaliknya.
Analisis aspek intrinsik karya sastra ialah analisis mengenai karya sastra itu sendiri tanpa melihat kaitannya dengan data di luar cipta sastra sastra tersebut, aspek ekstrinsik hanyalah dalam hubungan menetapkan nilai isinya
Sebuah karya fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya, yang sangat menarik untuk dianalisis, yaitu dengan analisis aspek intrinsik dan ekstrinsik.
            Analisis aspek intrinsik karya sastra ialah analisis mengenai karya sastra itu sendiri tanpa melihat kaitannya dengan data di luar cipta sastra sastra tersebut, aspek ekstrinsik hanyalah dalam hubungan menetapkan nilai isinya. Analisis aspek unsur ekstrinsik ialah analisis karya sastra itu sendiri dari segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di luar karya sastra itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA