Terpancar sinar sang mentari menari menata ruang baru tuk berdiam, ku
terdiam, terpaku lewat semilar angin yang sempat buat ku beku. Ini bukan
lah waktu untuk bermimpi. Aku tau, tapi mimpi itu terus membayangiku
hingga terbuka mata pun ia tak kunjung pudar.
‘Dinda..., apa yang kau lakukan?!!, sahut seorang wanita dengan penampilan layaknya seorang berpangkat di istanah negara.
“Sudah berapa kali ibu bilang ini bukan pekerjaanmu, berhentilah berfikir kau akan dewasa dengan cara seperti ini dan berhentilah membuat cemas ibumu ini..”
Aku hanya terdiam karena ini bukan kali pertamanya ibu memergokiku yang sedang membantu nenek menjual kue-kue nya d pasar.
”baik bu”, jawab ku penuh penyesalan, bukan menyesal karena telah membantu nenek tapi sesal yang amat dalam karena ku bertemu ibu di saat ku sedang bersama nenek, berusaha mengenang cerita-cerita yang tak kan pernah bisa ku lupakan...
“pulanglah sayang, benar kata ibumu pasar tidak baik untuk mu”.
“baik nek”, jawabku singkat seraya mencium tangan nya, kembali ku diam ditengah rasa yang tak bisa di ungkapkan ini. Ku masih merindukannya.
Ibu tidak ingin kau ulangi hal ini, jangan lukai perasaan ibumu ini nak...
“bagaimana bisa aku melukai hati ibu”, jawabku sambil menundukkan kepala.
“bahkan melihat ibu pun kau tak sudi anakku”. Sambungnya dengan tatapan penuh harapan.
“Hanya kau yang ibu miliki”.
Suasana terasa hambar tak separti dahulu aku dan wanita ini, dia separti orang lain bagiku, mengapa? padahal dia amat menyayangiku begitupun aku.
Bu aku kesepian, kenapa ibu tak mengizinkan ku belajar di sekolah layaknya anak-anak yang lain, ku ingin punya teman... ibu tak selalu ada di sampingku.
”bukankah sudah ibu katakan berulang kali padamu jika kau merasa kesepian kau bisa datang kekantor ibu, waktu ibu hanya untukmu nak!!percayalah”,
Itu yang selalu ibu katakan, padahal sudah jelas untuk mengangkat telphon ku saja ibu tak punya waktu sekalipun terjawab itu hanya untuk mengatakan,”kita bicarakan di rumah ya sayang”...huft!!!!
Sesampainya di rumah, segera ku telusuri jalan menuju kamar dan tanpa fikir panjang langsung ku rebahkan diriku seraya menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal yang membuat ku sedikit merasa gerah.
Hari sudah pagi tidak biasanya ibu sampai lupa untuk membangunkanku.
di luar kamar pun nampak tanpa suara, sepertinya hari ini aku bias kembali bertamu ke rumah nenek, namun sayangnya baru saja sampai nenek langsung memberiku sambutan yang kurang baik.
“Nak pulanglah kalau ibumu tau, kau bisa melukai hati nya”.
“ibu tidak akan tau nek”, jawabku santai
“Kenapa kau begitu yakin? bukankah ini juga yang selalu kau katakan saat bersama nenek tapi ibumu tak pernah tak tau... balasnya seraya mengelus kepalaku dengan manja,
Kali ini benar-benar tidak akan datang nek karena ibu sedang dinas ke luar kota dan lusa ibu akan pulang.
Nenek tidak bicara sepatah katapun ia hanya tersenyum seraya menghembuskan nafas seperti ingin mengatakan ‘syukurlah’
Tak ku sia-siakan sedetik pun waktu tuk berdiam karena jauh sebelum tiba disini telah ku siap kan ribuan pertannyaan, tapi sayangnya nenek hanya menjawab semua dengan senyuman. Itu membuat ku benar-benar kecewa
Kenapa ibu meninggalkan nenek sendirian disini, tanpa seorang pun yang menemani.
“ibu tidak meninggalkan nenek nak... ibumu hanya tak bisa tinggal disini,
Kenapa? ’potong ku penuh rasa penasaran.
Terlalu banyak kenangan yang tak ingin ibumu ingat dan terlalu sakit bila ia mengingat semua.
Lantas kenapa nenek tidak ikut bersama kami saja?
Nenek dan ibumu berbeda nak,
Nenek ingin selalu disini dan terus disini, nenek ingin terus hidup bersama semua kenangan yang mendarah disini, tidak akan pernah datang niat itu untuk melupakan semua..
“lalu kenapa ibu ingin melupakan semua nya!”
Lanjutku penuh semangat namun lagi-lagi hanya senyum manis itu yang ku lihat.
“Pulanglah”,
“Nenek mengusirku?” jawabku kecewa.
Nenek hanya takut ibu mu menelphon mu ke rumah, dan bagaimana bila pembantu dirumah mu tak punya alasan yang kuat untuk berpihak padamu. Jelasnya dengan tatapan itu. lagi-lagi tatapan itu, tatapan yang membuat ku tak mengerti dengan apa yang terjadi, terjadi di masa itu.
Tiga hari ku biarkan diriku terpenjara dalam sepi, hanya agar hatinya tak terluka. Sering ku berandai-andai, sesering kali itu pun aku menyerah setiap membayangkan apa yang akan ibu katakan tentang impian ku. Ibu tak pernah bisa mengerti, aku merasa sepi,
Dinda...
Dinda ibu pulang sayang, teriak seorang yang tak salah lagi ibu...
“Iya bu”, jawab ku dengan ceria
“Ayo tebak ibu bawa siapa?”
“Siapa?”
“Teman buat mu”,
“Teman?” ku tak percaya ibu mengatakan ini... apa maksud nya,
Kegiatan sosial di bandung mempertemukan ibu pada seorang anak, kau mau kan menjadi temannya, jawabnya dengan tenang.
Aku semakin bingung mendengar pernyataan ibu, sebenarnya ibu sedang mencarikan ku teman atau malah sebaliknya ibu sedang mencarikannya teman.
“ayo kenalkan sayang namanya Amanda dan Amanda ini anak ibu namanya dinda, mulai sekarang kalian tidak hanya berteman tapi kalian juga bersahabat dan bersaudara karena kita satu keluarga”.
Kata-kata itu, kenapa ibu mambuat ku semakin tak mengerti. Apakah ini tujuan ibu pergi meninggalkanku selama satu minggu dengan alasan urusan dinas.
Ohh..kenapa prasangka ini semakin menjadi-jadi, ayolah dinda apa yang kau fikirkan.
“Amanda”, suara nya begitu lembut, dia juga terlihat sangat ayu dengan kerudung yang ia kenakan. Pink itu warna favoritku.
“Dinda”, balasku seraya menjabat tangan nya yang sudah hampir sepuluh menit ku abaikan.
Ayo dinda temani Amanda melihat kamarnya, mulai sekarang ia akan tidur dikamar tamu yang ada di sebelah kamarmu,
”baik bu”, jawab ku singkat
Kami sama-sama menapaki lebih dari 10 anak tangga namun tetap rasa canggung itu tak kunjung hilang, tanpa suara kami membisu.
tiba-tiba aku merasa kalimat-kalimat yang sudah terangkai ini harus segara aku ucapkan dalam bentuk pertanyaan, yeah, pertanyaan yang ku ingin ia jawab sekarang juga sebelum rasa penasaran ini makin menjadi-jadi,
“apa yang membuatmu ingin ikut bersama ibuku? apa kau benar-benar ingin menjadi temanku?”
“tentu”, jawabnya dengan pasti
Aku ingin ikut karena aku takut, aku takut bila harus terus tinggal di sana, di panti asuhan yang telah membunuh semangat hidupku selama 12 tahun, aku ingin bebas. aku ingin terbang bebas seperti butterfly...terbang tinggi menjauh dari semua ini, menjauh dari mereka yang telah menyudutkanku.Aku....
“aku minta maaf”, potongku penuh rasa bersalah,
“Aku hanya tidak mengerti, ini semua terlalu membuat ku binggung, kau dan keputusan ibu yang tak pernah ku dengar sebelumnya”.
“aku pun tak mengerti mengapa aku putuskan untuk ikut bersama ibumu, tapi satu yang ku lihat ibumu adalah seorang dengan ketulusan yang amat dalam, tatapannya, aku merasakan itu”.
Tak ada yang berbeda, kehadirannya tetap membuat ku hidup dalam kesunyian, ibu bekerja sedangkan ia hanya menghabiskan waktunya dengan menyendiri di kamarnya.
“amanda”, sapaku padanya yang sedang asyik memandangi sebuah kertas, bukan itu bukan sebuah kertas! ya, itu selembar foto dan ia menangis.
Apa yang harus ku lakukan,
“Dinda”, ucapnya kaget dengan keberadaan ku seraya menghapus air matanya, apa yang kau lakukan di sana? ayo masuk.
Aku merasa kedatangan ku tidak tepat pada waktunya, aku benar-benar malu,
“oh, em...
Aku cuma mau bilang sarapannya mau di antar ke kamar atau...
“Tidak”, belum selesai kalimatku ia langsung menyambungnya,
“Tidak perlu sebentar lagi aku akan turun”.
“baiklah” lanjutku.
Semoga ia tidak berfikiran buruk tentangku.
Belum lama aku duduk di meja makan ia sudah menyusul,
“maaf, aku merepotkanmu” ucapnya seakan penuh rasa bersalah.
Tidak apa-apa, jawabku dengan santai
“dimana ibumu?”, sambungnya
“jam segini ibu sudah berangkat kerja dan kau bisa melihatnya kembali jam sepuluh malam nanti itu pun jika ibu tidak menginap di apartemen nya.
“apa kau merasa keberadaanku bisa membuatmu lebih baik atau sebaliknya?”,
‘apa yang kau bicarakan, tentu saja keberadaanmu sangat membantuku, kau mau kan menemaniku ke suatu tempat?”
Dengan yakin ia menjawab ‘iya’ padaku.
Dan ini merupakan awal dari kedekatan ku, amanda dan nenek.
“nek”, teriakanku ternyata membuat semua mata tertuju padaku.
“aku datang nek”, sambungku bersemangat
“Wah cucu nenek sepertinya senang sekali hari ini sampai-sampai barteriak di pasar, ayo ke rumah, jualan nenek sudah habis”.
Tiba-tiba mata nenek melirik ke sebelah kananku, tepat di sampingku.”temanmu nak?”,
Iya nek ibu membawanya dari bandung dari panti asuhan Bina Husada. Seketika nenek terdiam dan bukan itu saja kedua mata nenek tiba-tiba berubah menjadi sangat sayup seakan ingin mengatakan sesuatu,
“nek, nenek tidak apa-apa?”
Iya sayang nenek tidak apa-apa, siapa namanu nak? tanya nenek penuh kasih sayang, dan ini lah yang membuat ku tak ingin jauh dari nenek. Kalau disuruh memilih aku ingin selalu bersamanya.
“Amanda nek”, jawab Amanda dengan senyuman
Dian, apa benar kau sudah memutuskan ini semua, tidakkah ini akan semakin menyakiti hatimu. Kenapa kau tutupi semua perasaan mu, kenapa kau membuat ku semakin bersalah. Aku menyesal, sungguh menyasal anakku...
“ayo dinda, amanda kita kerumah nenek nanti nenek buatkan makanan spesial untuk kalian berdua”,
Nenek terlihat sangat bahagia, tapi kenapa?
Huft, semua semakin membuatku tak mengerti ataukah karena keberadaan Amanda!!! entahlah...
“ayo cucu-cucu nenek yang angun dimakan, ini seadanya”. Sahut nenek pada kami seraya meletakkan dua gelas sirup dan bermacam gorengan yang masih hangat itu di atas meja.
“wah kami jadi merepotkan, terimakasih nek”, jawabku sambil menentukan kemana jemariku akan berhenti dan membawakan sebuah pilihan untuk menghentikan bunyi aneh dari perutku, akhirnya ku putuskan mengambil sepotong bakwan yang selalu nenek buat ketika aku mengeluh saat tak ada yang bisa ku makan disini.
Namun saat ku ingin mempersihlakan Amanda untuk mencicipi masakan nenek, aku terhalang oleh satu ekspresi, yah!, dia seperti bedecak kagum melihat kemewahan rumah nenek dengan dekorasi yang unik ini,
“Amanda, ada apa?”, akhirnya ku memberanikan diri untuk bertanya
“oh tidak..emm..aku, aku mau ke toilet. Dimana ya!?”
Lurus saja nanti kalaw sudah melewati ruang tengah baru belok ke kanan...
Tanpa berkata apapun ia langsung berjalan membelakangiku, tidak salah bila ia merasa ini sangat membingungkan, dengan keadaan rumah yang serba mewah nenek malah lebih memilih menjajakan kue-kuenya dipasar ketimbang menikmati masa tuanya dengan uang pensiun kakek yang ku rasa lebih dari cukup.
“Dinda, apa kau tidak mempunyai teman lain?”,
Kenapa tiba-tiba ia menanyakan ini, huft...aku harus menjawab apa.
“em..oh teman ya!! selain ibu, nenek, dan kau aku masih mempunyai satu teman lagi tapi ia tidak setiap saat bisa ku temui,
“Alan maksudmu” potong nenek dengan senyum asal nya
“nenek, berhenti menggodaku”sambungku dengan ekspresi malu.
“Alan siapa dia?”
Uhhh...aku males kalau harus membahas ini karena wajahku bisa memerah bila harus menceritakannya, nek tolong aku!!!!
“oh, Alan dia anak pemilik toko di tempat nenek berjualan tadi. Dia anak yang baik, rajin, ramah, dia juga sangat pandai. Jika ada waktu luang dia selalu menyempatkan diri untuk belajar bersama dinda”, sambung nenek tanpa seizinku. tapi tak apalah setidaknya wajahku tidak harus memerah karena menyebut nama pria itu.
“oh” , jawab amanda dengan singkat seolah tidak tertarik sama sekali pada cerita nenek.
Seperti layaknya anak-anak lainnya kami hanya terpaku mendengar cerita nenek, crita tentang seorang wanita yang selalu di hantui rasa bersalah, tak lupa di sertainya juga nesehat-nasehat bijakknya yang jarang sekali ku dapatkan dari ibu, ibu, dia terlalu sibuk dengan urusannya.
Malam ini aku dan Amanda akan menginap di rumah nenek, tapi kali ini berbeda ibu yang meminta sendiri agar kami tinggal di sini untuk tiga hari kedepan,
“ayo cucu-cucu nenek lekas mandi sana, sudah hampir maghrib, biar nanti kita bisa shalat bersama”
Tanpa menunggu labih lama kami langsung bergegas ke kamar mandi, setelah shalat maghrib kembali kami menyantap masakan nenek yang super lezat bak masakan di restoran berbintang.
Namun sayang, saat sedang manikmati santapan malam kami tiba-tiba lampu padam dan tak lama dari itu aku mendengar Amanda berteriak, ia memelukku. Ternyata ia takut dengan kegelapan,
Nenek dengan cepat mengambil dua batang lilin untuk menerangi kami, Amanda menangis!!
“kenapa nak” tanya nenek padanya
Aku takut, aku takut...
“Apa yang kau takutkan Amanda, kami ada disini untukmu?” tanyaku
“mereka bilang kegelapan yang sudah mengambil ibu, mengambil ayah dan aku takut kegelapan juga akan membawa kalian, aku takut...
Ia terlihat sangat sedih dan entah apa yang ku rasakan air mataku, ia mengalir tanpa perintah dari otakku. ”tenanglah kami tidak akan meninggalkanmu”, ku coba untuk menenangkannya. Dan tak ku sangka ia juga menangis, nenek.
****
Tiga hari berlalu, waktunya tiba!! kami harus pulang karena bagaimana pun kami memiliki ibu,
Kami langkahkan kaki seirama menunjukkan persahabatan ini, seakan cat sang pelukis tertumpah di langit hingga terbentuklah lengkung pelangi dengan warna-warna menawan, senyumnya sangat mendamaikan hatiku.iya...kami begitu bahagia.
“ibu sudah pulang” tanyaku kaget melihat keberadaan ibu yang tak seperti biasanya
Ibu sengaja menunggu kalian pulang, hari ini ibu tidak kekantor. Ibu ingin bersama kalian...
Ibu terlihat sangat lelah, ataukah ini alasannya kenapa ibu masih ada di rumah,
“oh, berarti kita punya banyak waktu bersama ibu”,
Ini pertama kalinya aku melihat Amanda dengan sikap nya yang mulai menerima kami.
“iya sayang”, jawab ibu sambil mengelus kepala Amanda yang selalu di balut oleh jilbab
Kenapa perasaan ini datang, Amanda pantas mendapatkan itu, apa yang aku fikirkan. Apakah prasangka ini hadir karena ibu tak pernah melakukannya padaku, ibu...aku merindukanmu.
Amanda yang seolah mengerti apa yang ada di fikiranku segara mengalihkan pembicaraan nya,
“Dinda nanti kalau main ke rumah nenek aku ikut lagi ya?!”
‘tentu’, jawabku singkat di sertai senyum manis ku..
Kali ini Amanda tidak langsung berdiam ke kamarnya Ia turut masuk ke kamarku, sambil menggodaku “wah, itu seperti Alan”, ledeknya seraya menunjuk ke luar jendela.
‘mana-mana!!??’triakku spontan, tak dapat di tutupi wajahku langsung merah merona.
‘Apa yang kau suka darinya’, lanjutnya
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman seolah tak dapat berkata apa-apa lagi, dia benar-benar membuatku malu. Tapi aneh keberadaannya malah membuatku ingin membagi cerita ini padanya.
“aku ingin mengenal semua temanmu”, sambung Amanda
Aku semakin terdiam mendengar pernyataannya, apakah aku harus membagi semua temanku untuknya termasuk Alan, tidak...!!!Alan hanya boleh menjadi teman ku karena dia, dia begitu berarti untukku. Memang aneh di usia 13 tahun ini aku sudah mengenal kata spasial untuk lawan jenis tapi sungguh dia, ku tak ingin membaginya kepada siapapun.
Kembali aku hanya menjawabnya dengan senyuman,
Tak terasa hari semakin larut, hampa ku rasa sedang berusaha mendekapku, menyekapku di balik tirai-tirai kelam, membawa ku larut dalam lamunan. Tak ada seorang pun tau betapa besar rinduku padamu, mencarimu adalah suatu yang takkan pernah membuatku lelah walau hanya bayangmu yang tersambut, ku bahagia!!ayah...
‘Ayah’, teriakku spontan dalam lelapnya tidurku
Terasa sangat sayup mata ini, ibu dia ada disini tapi kali ini dengan ekspresi yang berbeda apakah ini karena ku mengigau tentang ayah.
Kepalaku terasa sakit, handuk kecil yang sebelumnya telah di rendam air hangat menempel di keningku, seluruh tubuh ku terasa kaku, aku menggigil kedinginan.
“ibu”, ucapku berusaha menenangkan hatinya
Aku begitu ingat ucapanya “jangan kau lukai hati ibumu ini nak, hanya kau yang ibu miliki, jangan kau abaikan kasih sayang ini dengan terus mengingatnya. karena saat itu ibu akan sangat terluka”.
“ibu, aku...
Belum sempat ku selesaikan kalimat-kalimatku, ibu sudah balik bertanya padaku. ”bagaimana keadaanmu sayang?”.
‘aku tidak apa-apa bu’, begitu jelas terlihat kesedihan dari kadua bola mata indahnya, maafkan aku bu...
“hari ini ibu melarangmu pergi kerumah nenek”, dengar itu dinda.
Ucapnya sebelum pergi meninggalkan kamarku. Aku pasti sudah membuatnya terlambat berangkat ke kantor, ku ambil handphone yang sebalumnya ku letakkan di bawah bantal. jalas ku terkejut melihat angka yang di tunjukkan di handphone ku “aku sudah membuatnya terlambat tiga jam”. maafkan aku bu.
“Dinda”, sapa Amanda yang terlihat lega dengan kesadaranku.
‘kau tidak apa-apa, aku begitu cemas karena kau tidak berhanti mengigau tentang ayahmu tadi malam”, sambungnya.
Iya tadi malam Amanda memang sudah aku izinkan untuk tidur di kamarku karena alasannya yang begitu logis, takut bila sewaktu-waktu lampu akan kembali padam seperti di rumah nenek. dan benarkah aku terus memenggilnya semalaman, tanpa memperdulikan perasaan ibuku!!!oh...berdosakah aku.
“benarkah”, jawabku dengan penuh ekspresi.
“apa ibuku semalaman juga ada disini?”, lanjutku.
“tentu saja!!! ibumu hanya meninggalkanmu tidak kurang dari satu jam untuk bersiap-siap ke kantor dan setelah kau sadar barulah ibumu pergi, ia begitu khawatir pada mu”.
Namun tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi teduh, seakan tak mampu membendung air mata, ia memelukku yang sedang duduk bersandar di tempat tidurku, begitu erat seakan ia takut...takut ku akan meninggalkannya.
“berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku”, pernyataan itu terdengar sangat lirih namun aku mengerti. ’tentu saja, aku tidak akan meninggalkanmu Amanda’. jawabku berusaha terus meyakinkannya.
“Cepatlah sembuh, aku ingin kita bermain bersama nenek lagi”,
Sesaat Amanda pun berlalu bersama kesedihan yang ku lihat bagitu membuatnya merasa tidak nyaman, tapi apa, aku pun tak tahu itu.
Di suatu kesempatan tak ku sia-siakan waktu untuk berbicara dengannya padahal aku sangat menghindari saat-saat seperti ini. ”ibu, aku ingin bicara”.
‘bicaralah sayang’, jawabnya dengan santai
“Apa aku membuatmu terluka? apakah kau akan menyalahkan ku dengan ketidaksadaranku”, dan...
Lagi-lagi ia tidak membiarkan pertanyaan ku ku selesaikan,
“lupakanlah sayang, ibu sangat lelah bisakah kau izinkan ibu beristirahat sejenak”
‘tentu bu’, balasku kecewa.
****
Hidupku begitu sempit temanku pun bisa di hitung dengan jari-jariku yang pas-pasan ini, sempat perdebatan panjang terjadi antara aku dan ibu tapi lagi-lagi perasaan itu muncul, perasaan yang membuatku tak ingin mengecewakannya. saat itu aku begitu mendesak ibu agar mengizinkannku bersekolah di SMA negeri seperti layaknya anak-anak lain, tidak dengan privat bersama guru dan materi yang begitu membosankan.
Saat itu ibu berkata ‘ibu takut kau akan tumbuh menjadi anak dengan pergaulan yang tidak seimbang, bagaimana bila temanmu nanti adalah orang yang membencimu, apakah kau bisa berjanji pada ibu kau tidak akan salah dalam memilih teman, apa kau sanggup bila ibu kelak melarangmu berteman dengan orang yang sombong, pamer, tidak ramah, pemarah dan masih banyak lagi. Dan aku hanya menjawab ‘lantas bagaimana bila teman yang ku miliki sekarang sudah memelihara sifat itu apakah aku harus menghindarinya? sedangkan hanya itu teman yang aku miliki, bagaimana bila akhirnya aku harus menghindari ibu ku sendiri’. tanpa ku sadari ibu meneteskan air matanya dan ia tersenyum padaku “pilihlah kehidupanmu sendiri nak”.
Kalimat-kalimat yang ibu lontarkan membuat ku marah dan berlari meninggalkannya sendiri, walaupun usiaku saat itu masih empatbelas tahun tapi emosionalku sudah begitu tinggi, aku memilih tinggal bersama nenek selama dua pekan dengan alasan suntuk, namun setelah nenek tau aku berbohong, nenek langsung memarahiku dan menyuruhku pulang jika aku tidak pulang maka aku tidak boleh datang kerumah nenek lagi, bagiku itu pilihan yang tidak perlu di fikirkan lagi, tentu saja aku akan memilih untuk pulang.
Dan saat ku pulang ternyata ibu tidak berada di rumah, aku sempat berfikir ibu benar-benar meninggalkanku, namun setelah aku menunggu satu jam ibu datang dengan wajah sembab, aku benar-benar merasa bersalah dan setelah kejadian itu aku tak pernah menuntut apapun lagi pada ibu apa lagi menuntut sesuatu yang bisa membuat ibu sedih.
“dan ibu dengan begitu cepat ia memaafkanku...”.
Aku tak dapat berbohong aku begitu bahagia walau hanya ibu dan nenek yang aku miliki dan aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana bila suatu saat mereka meningaalkanku.
****
Begitu terasa nyanyian alam, bersyair di telingaku. jiwa kelam ku tlah di sinari beribu harapan ya Harapan Ke Depan...aku ingin bersekolah, layaknya mereka yang lalu-lalang di depan gerbang rumah ku dengan warna putih abu-abu yang bgitu menggoda dan tak sering ia merayu ku untuk segara mengenakannya.
‘Dinda apa yang kau fikirkan?
“Emmm... tidak, aku hanya..”
Kau ingin seperti mereka?, sambungnya seketika
Sangat ingin Amanda tapi aku takut harapan ku ini akan menyakiti ibu. jawabku tanpa ekspresi,
‘Yakinlah, ibu mu punya alasan tersendiri untuk ini’.
Iya alasan yang tak kan pernah ku ketahui, karena aku dan ibu tak pernah saling bicara. jika saja ibu mau meluangkan sedikit waktunya untuk aku mengenal dirinya pasti semua bisa lebih mudah untuk ku pahami. Kapankah waktu itu tiba, ibu lihat aku, bahkan tuk memeluk ku kau pun tak sudi. Untunglah ada Amanda, setidaknya aku dapat berbagi kesuntukan ini bersamanya, belajar bersama dirumah dengan guru yang sangat membosankan.
Amanda, Dinda...apa yang kalian lakukan diluar ayo masuk nak.
‘iya bu, jawab Amanda dengan manja.
Tersentak ku di kejutkan saat ibu membelai rambut Amanda yang saat itu tidak mengenakan kerudung, bahkan ibu tak sama sekali melirikku, tatapan itu aku, kenapa dengan ku..
Tanpa sempat turut bermanja, jiwa ini langsung menuntunku meninggalkan mereka berdua, hanya berdua.
‘Nenek, aku merindukanmu’.
Saat itu ibu tidak berada di rumah, ia pergi setelah membelai kepala Amanda. Tanpa fikir panjang langsung ku tuntun langkah ini menuju kediaman nenek, serasa hujan membasahi tubuh ini, keringat dingin mengalir tanpa izin padaku. Ingin ku abaikan rasa gugup ini tapi sungguh getar itu semakin menjadi saat aku mencoba untuk tenang.
“bu, aku ingin pergi ke suatu tempat untuk waktu yang tidak bisa ku tentukan, aku ingin menitipkan kedua anakku disini bersama ibu, Amanda dan Dinda pasti sangat senang jika mereka tau meraka akan tinggal bersamamu”,
‘adakah niat mu untuk tidak kembali lagi’, jawab nenek seraya menundukkan kepalanya.
“sempat bu, bahkan selalu datang niat itu tapi aku ibu nya. Aku pasti kembali”.
‘kau bohong, kau sedang berbohong...baiklah, katakan pada ibu kapan kau akan kembali dan jangan pernah ingkari itu’.
Tak ada jawaban saat itu, semua tampak hening, ibu hanya terdiam saat nenek bertanya kapan ia akan kembali dan mungkinkah ia memang tak ingin kembali.
“ibu tidak bisa melarangmu, ibu tau hati mu sangat tersiksa tapi cobalah sekali saja kau rasakan kehangatan mereka, mereka sangat menyayangimu. Tolong jangan pernah tukar mereka dengan masa lalumu”. Balas nenek.
Tak terasa air mata ini perlahan mengalir, ribuan pertanyaan menari bebas bersama prasangka. Kenapa ia hadirkan niat itu, niat untuk meninggalkan ku, dan kenapa aku harus mendengar semua ini. Ingin sekali ku berlari meninggalkan kata yang tak pernah ingin ku dengar ini.
“beritahu aku kenapa ibu harus pergi”, ucapku perhalahan mengejutkan mereka. ”Adinda, apa yang kau lakukan disana”, jawab ibu dengan raut cemas kalau saja aku mendengar semua yang ia katakan. “aku tak ingin ibu pergi” sambungku dengan tatapan teduh.
“Kau takkan mengerti sayang, kau akan membiarkan ibu pergi setelah nenek menceritakan semuanya pada kalian”, aku tak peduli dengan apa yang ia katakan aku hanya tak ingin ia pergi, ku fikir dengan memeluknya erat ia takkan pergi tapi ternyata salah ia meninggakanku tanpa ku mengerti, kalian? Amanda jugakah...
”Nek katakan padaku ada apa dengan ibu, apakah aku begitu membuatnya marah, kenapa ia ingin meninggalkaku”, air mata yang sudah dipelupuk itu akhirnya terjatuh. Sesaat semua menjadi hening namun tidak ketika nenek perlahan mulai mengeluarkan suaranya untuk menceritakan sesuatu padaku.
”16 tahun yang lalu dokter menyarankan pada ayah dan ibumu untuk mengadopsi seorang anak. Ayahmu, putra satu-satunya nenek, ia tak bersedia melakukannya, ia meminta restu nenek untuk menikahi seorang sahabatnya di masa kecil yang saat itu masih berstatus belum menikah. Disana letak kesalahan nenek, seharusnya nenek tidak merestuinya namun melihat kesungguhannya nenek luluh tanpa memperdulikan perasaan ibumu..”
Aku semakin tak mengerti dibuat nenek, dongeng apa yang sedang ia ceritakan padaku, ”lalu apakah wanita itu berhasil merebut ayah dari ibu, nek?”. Sambungku.
”Iya nak, wanita itulah yang akhirnya melahirkan kalian berdua dari rahimnya”, nenek menangis dan aku makin tak mengerti, kalian dan wanita itu, apa ini, sandiwara apa, ”wanita itu?” tanyaku penuh rasa penasaran.
”Wanita itu adalah ibumu, ditahun kedua pernikahan mereka, wanita itu melahirkanmu, anakku. Ayahmu sangat bahagia, hidupnya tampak begitu sempurna, tapi tidak dengan ibumu bahkan ayahmu tidak pernah menganggap mempunyai dua istri melainkan seorang pelayan dan hanya seorang istri. Seringkali nenek menemukan ibumu tengah menangis tapi ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ditahun berikutnya lahirlah Amanda dan di tahun itu jugalah ibumu meninggal karena pendarahan, ayah kalian shock dan mengakhiri hidupnya tanpa memperdulikan perasaan ibumu, istri pertamanya”. Mendengar cerita nenek membuatku ingin berlari, berteriak, dan berteriak lagi. Ia bukan ibuku, bagaimana bisa nenek berkata seperti itu. Jika saja orang lain yang berkata seperti itu mungkin aku takkan mempercayainya tapi ini nenek orang yang begitu berperan dalam hidupku. ”dia adikku”, sambungku. ”iya, dia adikmu yang dikirim ibumu ke salah satu panti asuhan karena wajah adikmu begitu mirip dengan wanita yang telah melahirkan kalian dan ibumu memilih untuk merawatmu karena kau begitu mirip dengan ayahmu, matamu, hidungmu dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat ibumu ingin merawatmu, ia memohon kepada nenek untuk tidak merawat Amanda untuk menghapus kenangan buruknya dimasa itu”. Nenek meneruskan ceritanya hingga aku mulai jenuh, begitu jenuh dengan cerita yang rasanya tak pernah ingin ku dengar ini.
Tanpa membuang waktu ku berlari membelakangi nenek, berharap ia belum pergi jauh, ku kerahkan sisa-sisa tenaga seakan sedang berlomba menuju garis finish, setiap tikungan terasa begitu terjal dan aku hanya bisa menangis dalam harapan. Tapi langkahku terhenti disini, ya di jalan raya yang nampak ramai oleh warga. Seorang wanita di tabrak sebuah inova, ia menghembuskan nafas terakhirnya disana. Dan Amanda ia seakan ingin menghabiskan semua sisa air matanya. Ibu aku sungguh mencintaimu bahkan setelah nenek menceritakan semuanya tak berkurang sdikitpun rasa sayang ini, sungguh aku tetap mencintaimu..
The end..
‘Dinda..., apa yang kau lakukan?!!, sahut seorang wanita dengan penampilan layaknya seorang berpangkat di istanah negara.
“Sudah berapa kali ibu bilang ini bukan pekerjaanmu, berhentilah berfikir kau akan dewasa dengan cara seperti ini dan berhentilah membuat cemas ibumu ini..”
Aku hanya terdiam karena ini bukan kali pertamanya ibu memergokiku yang sedang membantu nenek menjual kue-kue nya d pasar.
”baik bu”, jawab ku penuh penyesalan, bukan menyesal karena telah membantu nenek tapi sesal yang amat dalam karena ku bertemu ibu di saat ku sedang bersama nenek, berusaha mengenang cerita-cerita yang tak kan pernah bisa ku lupakan...
“pulanglah sayang, benar kata ibumu pasar tidak baik untuk mu”.
“baik nek”, jawabku singkat seraya mencium tangan nya, kembali ku diam ditengah rasa yang tak bisa di ungkapkan ini. Ku masih merindukannya.
Ibu tidak ingin kau ulangi hal ini, jangan lukai perasaan ibumu ini nak...
“bagaimana bisa aku melukai hati ibu”, jawabku sambil menundukkan kepala.
“bahkan melihat ibu pun kau tak sudi anakku”. Sambungnya dengan tatapan penuh harapan.
“Hanya kau yang ibu miliki”.
Suasana terasa hambar tak separti dahulu aku dan wanita ini, dia separti orang lain bagiku, mengapa? padahal dia amat menyayangiku begitupun aku.
Bu aku kesepian, kenapa ibu tak mengizinkan ku belajar di sekolah layaknya anak-anak yang lain, ku ingin punya teman... ibu tak selalu ada di sampingku.
”bukankah sudah ibu katakan berulang kali padamu jika kau merasa kesepian kau bisa datang kekantor ibu, waktu ibu hanya untukmu nak!!percayalah”,
Itu yang selalu ibu katakan, padahal sudah jelas untuk mengangkat telphon ku saja ibu tak punya waktu sekalipun terjawab itu hanya untuk mengatakan,”kita bicarakan di rumah ya sayang”...huft!!!!
Sesampainya di rumah, segera ku telusuri jalan menuju kamar dan tanpa fikir panjang langsung ku rebahkan diriku seraya menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal yang membuat ku sedikit merasa gerah.
Hari sudah pagi tidak biasanya ibu sampai lupa untuk membangunkanku.
di luar kamar pun nampak tanpa suara, sepertinya hari ini aku bias kembali bertamu ke rumah nenek, namun sayangnya baru saja sampai nenek langsung memberiku sambutan yang kurang baik.
“Nak pulanglah kalau ibumu tau, kau bisa melukai hati nya”.
“ibu tidak akan tau nek”, jawabku santai
“Kenapa kau begitu yakin? bukankah ini juga yang selalu kau katakan saat bersama nenek tapi ibumu tak pernah tak tau... balasnya seraya mengelus kepalaku dengan manja,
Kali ini benar-benar tidak akan datang nek karena ibu sedang dinas ke luar kota dan lusa ibu akan pulang.
Nenek tidak bicara sepatah katapun ia hanya tersenyum seraya menghembuskan nafas seperti ingin mengatakan ‘syukurlah’
Tak ku sia-siakan sedetik pun waktu tuk berdiam karena jauh sebelum tiba disini telah ku siap kan ribuan pertannyaan, tapi sayangnya nenek hanya menjawab semua dengan senyuman. Itu membuat ku benar-benar kecewa
Kenapa ibu meninggalkan nenek sendirian disini, tanpa seorang pun yang menemani.
“ibu tidak meninggalkan nenek nak... ibumu hanya tak bisa tinggal disini,
Kenapa? ’potong ku penuh rasa penasaran.
Terlalu banyak kenangan yang tak ingin ibumu ingat dan terlalu sakit bila ia mengingat semua.
Lantas kenapa nenek tidak ikut bersama kami saja?
Nenek dan ibumu berbeda nak,
Nenek ingin selalu disini dan terus disini, nenek ingin terus hidup bersama semua kenangan yang mendarah disini, tidak akan pernah datang niat itu untuk melupakan semua..
“lalu kenapa ibu ingin melupakan semua nya!”
Lanjutku penuh semangat namun lagi-lagi hanya senyum manis itu yang ku lihat.
“Pulanglah”,
“Nenek mengusirku?” jawabku kecewa.
Nenek hanya takut ibu mu menelphon mu ke rumah, dan bagaimana bila pembantu dirumah mu tak punya alasan yang kuat untuk berpihak padamu. Jelasnya dengan tatapan itu. lagi-lagi tatapan itu, tatapan yang membuat ku tak mengerti dengan apa yang terjadi, terjadi di masa itu.
Tiga hari ku biarkan diriku terpenjara dalam sepi, hanya agar hatinya tak terluka. Sering ku berandai-andai, sesering kali itu pun aku menyerah setiap membayangkan apa yang akan ibu katakan tentang impian ku. Ibu tak pernah bisa mengerti, aku merasa sepi,
Dinda...
Dinda ibu pulang sayang, teriak seorang yang tak salah lagi ibu...
“Iya bu”, jawab ku dengan ceria
“Ayo tebak ibu bawa siapa?”
“Siapa?”
“Teman buat mu”,
“Teman?” ku tak percaya ibu mengatakan ini... apa maksud nya,
Kegiatan sosial di bandung mempertemukan ibu pada seorang anak, kau mau kan menjadi temannya, jawabnya dengan tenang.
Aku semakin bingung mendengar pernyataan ibu, sebenarnya ibu sedang mencarikan ku teman atau malah sebaliknya ibu sedang mencarikannya teman.
“ayo kenalkan sayang namanya Amanda dan Amanda ini anak ibu namanya dinda, mulai sekarang kalian tidak hanya berteman tapi kalian juga bersahabat dan bersaudara karena kita satu keluarga”.
Kata-kata itu, kenapa ibu mambuat ku semakin tak mengerti. Apakah ini tujuan ibu pergi meninggalkanku selama satu minggu dengan alasan urusan dinas.
Ohh..kenapa prasangka ini semakin menjadi-jadi, ayolah dinda apa yang kau fikirkan.
“Amanda”, suara nya begitu lembut, dia juga terlihat sangat ayu dengan kerudung yang ia kenakan. Pink itu warna favoritku.
“Dinda”, balasku seraya menjabat tangan nya yang sudah hampir sepuluh menit ku abaikan.
Ayo dinda temani Amanda melihat kamarnya, mulai sekarang ia akan tidur dikamar tamu yang ada di sebelah kamarmu,
”baik bu”, jawab ku singkat
Kami sama-sama menapaki lebih dari 10 anak tangga namun tetap rasa canggung itu tak kunjung hilang, tanpa suara kami membisu.
tiba-tiba aku merasa kalimat-kalimat yang sudah terangkai ini harus segara aku ucapkan dalam bentuk pertanyaan, yeah, pertanyaan yang ku ingin ia jawab sekarang juga sebelum rasa penasaran ini makin menjadi-jadi,
“apa yang membuatmu ingin ikut bersama ibuku? apa kau benar-benar ingin menjadi temanku?”
“tentu”, jawabnya dengan pasti
Aku ingin ikut karena aku takut, aku takut bila harus terus tinggal di sana, di panti asuhan yang telah membunuh semangat hidupku selama 12 tahun, aku ingin bebas. aku ingin terbang bebas seperti butterfly...terbang tinggi menjauh dari semua ini, menjauh dari mereka yang telah menyudutkanku.Aku....
“aku minta maaf”, potongku penuh rasa bersalah,
“Aku hanya tidak mengerti, ini semua terlalu membuat ku binggung, kau dan keputusan ibu yang tak pernah ku dengar sebelumnya”.
“aku pun tak mengerti mengapa aku putuskan untuk ikut bersama ibumu, tapi satu yang ku lihat ibumu adalah seorang dengan ketulusan yang amat dalam, tatapannya, aku merasakan itu”.
Tak ada yang berbeda, kehadirannya tetap membuat ku hidup dalam kesunyian, ibu bekerja sedangkan ia hanya menghabiskan waktunya dengan menyendiri di kamarnya.
“amanda”, sapaku padanya yang sedang asyik memandangi sebuah kertas, bukan itu bukan sebuah kertas! ya, itu selembar foto dan ia menangis.
Apa yang harus ku lakukan,
“Dinda”, ucapnya kaget dengan keberadaan ku seraya menghapus air matanya, apa yang kau lakukan di sana? ayo masuk.
Aku merasa kedatangan ku tidak tepat pada waktunya, aku benar-benar malu,
“oh, em...
Aku cuma mau bilang sarapannya mau di antar ke kamar atau...
“Tidak”, belum selesai kalimatku ia langsung menyambungnya,
“Tidak perlu sebentar lagi aku akan turun”.
“baiklah” lanjutku.
Semoga ia tidak berfikiran buruk tentangku.
Belum lama aku duduk di meja makan ia sudah menyusul,
“maaf, aku merepotkanmu” ucapnya seakan penuh rasa bersalah.
Tidak apa-apa, jawabku dengan santai
“dimana ibumu?”, sambungnya
“jam segini ibu sudah berangkat kerja dan kau bisa melihatnya kembali jam sepuluh malam nanti itu pun jika ibu tidak menginap di apartemen nya.
“apa kau merasa keberadaanku bisa membuatmu lebih baik atau sebaliknya?”,
‘apa yang kau bicarakan, tentu saja keberadaanmu sangat membantuku, kau mau kan menemaniku ke suatu tempat?”
Dengan yakin ia menjawab ‘iya’ padaku.
Dan ini merupakan awal dari kedekatan ku, amanda dan nenek.
“nek”, teriakanku ternyata membuat semua mata tertuju padaku.
“aku datang nek”, sambungku bersemangat
“Wah cucu nenek sepertinya senang sekali hari ini sampai-sampai barteriak di pasar, ayo ke rumah, jualan nenek sudah habis”.
Tiba-tiba mata nenek melirik ke sebelah kananku, tepat di sampingku.”temanmu nak?”,
Iya nek ibu membawanya dari bandung dari panti asuhan Bina Husada. Seketika nenek terdiam dan bukan itu saja kedua mata nenek tiba-tiba berubah menjadi sangat sayup seakan ingin mengatakan sesuatu,
“nek, nenek tidak apa-apa?”
Iya sayang nenek tidak apa-apa, siapa namanu nak? tanya nenek penuh kasih sayang, dan ini lah yang membuat ku tak ingin jauh dari nenek. Kalau disuruh memilih aku ingin selalu bersamanya.
“Amanda nek”, jawab Amanda dengan senyuman
Dian, apa benar kau sudah memutuskan ini semua, tidakkah ini akan semakin menyakiti hatimu. Kenapa kau tutupi semua perasaan mu, kenapa kau membuat ku semakin bersalah. Aku menyesal, sungguh menyasal anakku...
“ayo dinda, amanda kita kerumah nenek nanti nenek buatkan makanan spesial untuk kalian berdua”,
Nenek terlihat sangat bahagia, tapi kenapa?
Huft, semua semakin membuatku tak mengerti ataukah karena keberadaan Amanda!!! entahlah...
“ayo cucu-cucu nenek yang angun dimakan, ini seadanya”. Sahut nenek pada kami seraya meletakkan dua gelas sirup dan bermacam gorengan yang masih hangat itu di atas meja.
“wah kami jadi merepotkan, terimakasih nek”, jawabku sambil menentukan kemana jemariku akan berhenti dan membawakan sebuah pilihan untuk menghentikan bunyi aneh dari perutku, akhirnya ku putuskan mengambil sepotong bakwan yang selalu nenek buat ketika aku mengeluh saat tak ada yang bisa ku makan disini.
Namun saat ku ingin mempersihlakan Amanda untuk mencicipi masakan nenek, aku terhalang oleh satu ekspresi, yah!, dia seperti bedecak kagum melihat kemewahan rumah nenek dengan dekorasi yang unik ini,
“Amanda, ada apa?”, akhirnya ku memberanikan diri untuk bertanya
“oh tidak..emm..aku, aku mau ke toilet. Dimana ya!?”
Lurus saja nanti kalaw sudah melewati ruang tengah baru belok ke kanan...
Tanpa berkata apapun ia langsung berjalan membelakangiku, tidak salah bila ia merasa ini sangat membingungkan, dengan keadaan rumah yang serba mewah nenek malah lebih memilih menjajakan kue-kuenya dipasar ketimbang menikmati masa tuanya dengan uang pensiun kakek yang ku rasa lebih dari cukup.
“Dinda, apa kau tidak mempunyai teman lain?”,
Kenapa tiba-tiba ia menanyakan ini, huft...aku harus menjawab apa.
“em..oh teman ya!! selain ibu, nenek, dan kau aku masih mempunyai satu teman lagi tapi ia tidak setiap saat bisa ku temui,
“Alan maksudmu” potong nenek dengan senyum asal nya
“nenek, berhenti menggodaku”sambungku dengan ekspresi malu.
“Alan siapa dia?”
Uhhh...aku males kalau harus membahas ini karena wajahku bisa memerah bila harus menceritakannya, nek tolong aku!!!!
“oh, Alan dia anak pemilik toko di tempat nenek berjualan tadi. Dia anak yang baik, rajin, ramah, dia juga sangat pandai. Jika ada waktu luang dia selalu menyempatkan diri untuk belajar bersama dinda”, sambung nenek tanpa seizinku. tapi tak apalah setidaknya wajahku tidak harus memerah karena menyebut nama pria itu.
“oh” , jawab amanda dengan singkat seolah tidak tertarik sama sekali pada cerita nenek.
Seperti layaknya anak-anak lainnya kami hanya terpaku mendengar cerita nenek, crita tentang seorang wanita yang selalu di hantui rasa bersalah, tak lupa di sertainya juga nesehat-nasehat bijakknya yang jarang sekali ku dapatkan dari ibu, ibu, dia terlalu sibuk dengan urusannya.
Malam ini aku dan Amanda akan menginap di rumah nenek, tapi kali ini berbeda ibu yang meminta sendiri agar kami tinggal di sini untuk tiga hari kedepan,
“ayo cucu-cucu nenek lekas mandi sana, sudah hampir maghrib, biar nanti kita bisa shalat bersama”
Tanpa menunggu labih lama kami langsung bergegas ke kamar mandi, setelah shalat maghrib kembali kami menyantap masakan nenek yang super lezat bak masakan di restoran berbintang.
Namun sayang, saat sedang manikmati santapan malam kami tiba-tiba lampu padam dan tak lama dari itu aku mendengar Amanda berteriak, ia memelukku. Ternyata ia takut dengan kegelapan,
Nenek dengan cepat mengambil dua batang lilin untuk menerangi kami, Amanda menangis!!
“kenapa nak” tanya nenek padanya
Aku takut, aku takut...
“Apa yang kau takutkan Amanda, kami ada disini untukmu?” tanyaku
“mereka bilang kegelapan yang sudah mengambil ibu, mengambil ayah dan aku takut kegelapan juga akan membawa kalian, aku takut...
Ia terlihat sangat sedih dan entah apa yang ku rasakan air mataku, ia mengalir tanpa perintah dari otakku. ”tenanglah kami tidak akan meninggalkanmu”, ku coba untuk menenangkannya. Dan tak ku sangka ia juga menangis, nenek.
****
Tiga hari berlalu, waktunya tiba!! kami harus pulang karena bagaimana pun kami memiliki ibu,
Kami langkahkan kaki seirama menunjukkan persahabatan ini, seakan cat sang pelukis tertumpah di langit hingga terbentuklah lengkung pelangi dengan warna-warna menawan, senyumnya sangat mendamaikan hatiku.iya...kami begitu bahagia.
“ibu sudah pulang” tanyaku kaget melihat keberadaan ibu yang tak seperti biasanya
Ibu sengaja menunggu kalian pulang, hari ini ibu tidak kekantor. Ibu ingin bersama kalian...
Ibu terlihat sangat lelah, ataukah ini alasannya kenapa ibu masih ada di rumah,
“oh, berarti kita punya banyak waktu bersama ibu”,
Ini pertama kalinya aku melihat Amanda dengan sikap nya yang mulai menerima kami.
“iya sayang”, jawab ibu sambil mengelus kepala Amanda yang selalu di balut oleh jilbab
Kenapa perasaan ini datang, Amanda pantas mendapatkan itu, apa yang aku fikirkan. Apakah prasangka ini hadir karena ibu tak pernah melakukannya padaku, ibu...aku merindukanmu.
Amanda yang seolah mengerti apa yang ada di fikiranku segara mengalihkan pembicaraan nya,
“Dinda nanti kalau main ke rumah nenek aku ikut lagi ya?!”
‘tentu’, jawabku singkat di sertai senyum manis ku..
Kali ini Amanda tidak langsung berdiam ke kamarnya Ia turut masuk ke kamarku, sambil menggodaku “wah, itu seperti Alan”, ledeknya seraya menunjuk ke luar jendela.
‘mana-mana!!??’triakku spontan, tak dapat di tutupi wajahku langsung merah merona.
‘Apa yang kau suka darinya’, lanjutnya
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman seolah tak dapat berkata apa-apa lagi, dia benar-benar membuatku malu. Tapi aneh keberadaannya malah membuatku ingin membagi cerita ini padanya.
“aku ingin mengenal semua temanmu”, sambung Amanda
Aku semakin terdiam mendengar pernyataannya, apakah aku harus membagi semua temanku untuknya termasuk Alan, tidak...!!!Alan hanya boleh menjadi teman ku karena dia, dia begitu berarti untukku. Memang aneh di usia 13 tahun ini aku sudah mengenal kata spasial untuk lawan jenis tapi sungguh dia, ku tak ingin membaginya kepada siapapun.
Kembali aku hanya menjawabnya dengan senyuman,
Tak terasa hari semakin larut, hampa ku rasa sedang berusaha mendekapku, menyekapku di balik tirai-tirai kelam, membawa ku larut dalam lamunan. Tak ada seorang pun tau betapa besar rinduku padamu, mencarimu adalah suatu yang takkan pernah membuatku lelah walau hanya bayangmu yang tersambut, ku bahagia!!ayah...
‘Ayah’, teriakku spontan dalam lelapnya tidurku
Terasa sangat sayup mata ini, ibu dia ada disini tapi kali ini dengan ekspresi yang berbeda apakah ini karena ku mengigau tentang ayah.
Kepalaku terasa sakit, handuk kecil yang sebelumnya telah di rendam air hangat menempel di keningku, seluruh tubuh ku terasa kaku, aku menggigil kedinginan.
“ibu”, ucapku berusaha menenangkan hatinya
Aku begitu ingat ucapanya “jangan kau lukai hati ibumu ini nak, hanya kau yang ibu miliki, jangan kau abaikan kasih sayang ini dengan terus mengingatnya. karena saat itu ibu akan sangat terluka”.
“ibu, aku...
Belum sempat ku selesaikan kalimat-kalimatku, ibu sudah balik bertanya padaku. ”bagaimana keadaanmu sayang?”.
‘aku tidak apa-apa bu’, begitu jelas terlihat kesedihan dari kadua bola mata indahnya, maafkan aku bu...
“hari ini ibu melarangmu pergi kerumah nenek”, dengar itu dinda.
Ucapnya sebelum pergi meninggalkan kamarku. Aku pasti sudah membuatnya terlambat berangkat ke kantor, ku ambil handphone yang sebalumnya ku letakkan di bawah bantal. jalas ku terkejut melihat angka yang di tunjukkan di handphone ku “aku sudah membuatnya terlambat tiga jam”. maafkan aku bu.
“Dinda”, sapa Amanda yang terlihat lega dengan kesadaranku.
‘kau tidak apa-apa, aku begitu cemas karena kau tidak berhanti mengigau tentang ayahmu tadi malam”, sambungnya.
Iya tadi malam Amanda memang sudah aku izinkan untuk tidur di kamarku karena alasannya yang begitu logis, takut bila sewaktu-waktu lampu akan kembali padam seperti di rumah nenek. dan benarkah aku terus memenggilnya semalaman, tanpa memperdulikan perasaan ibuku!!!oh...berdosakah aku.
“benarkah”, jawabku dengan penuh ekspresi.
“apa ibuku semalaman juga ada disini?”, lanjutku.
“tentu saja!!! ibumu hanya meninggalkanmu tidak kurang dari satu jam untuk bersiap-siap ke kantor dan setelah kau sadar barulah ibumu pergi, ia begitu khawatir pada mu”.
Namun tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi teduh, seakan tak mampu membendung air mata, ia memelukku yang sedang duduk bersandar di tempat tidurku, begitu erat seakan ia takut...takut ku akan meninggalkannya.
“berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku”, pernyataan itu terdengar sangat lirih namun aku mengerti. ’tentu saja, aku tidak akan meninggalkanmu Amanda’. jawabku berusaha terus meyakinkannya.
“Cepatlah sembuh, aku ingin kita bermain bersama nenek lagi”,
Sesaat Amanda pun berlalu bersama kesedihan yang ku lihat bagitu membuatnya merasa tidak nyaman, tapi apa, aku pun tak tahu itu.
Di suatu kesempatan tak ku sia-siakan waktu untuk berbicara dengannya padahal aku sangat menghindari saat-saat seperti ini. ”ibu, aku ingin bicara”.
‘bicaralah sayang’, jawabnya dengan santai
“Apa aku membuatmu terluka? apakah kau akan menyalahkan ku dengan ketidaksadaranku”, dan...
Lagi-lagi ia tidak membiarkan pertanyaan ku ku selesaikan,
“lupakanlah sayang, ibu sangat lelah bisakah kau izinkan ibu beristirahat sejenak”
‘tentu bu’, balasku kecewa.
****
Hidupku begitu sempit temanku pun bisa di hitung dengan jari-jariku yang pas-pasan ini, sempat perdebatan panjang terjadi antara aku dan ibu tapi lagi-lagi perasaan itu muncul, perasaan yang membuatku tak ingin mengecewakannya. saat itu aku begitu mendesak ibu agar mengizinkannku bersekolah di SMA negeri seperti layaknya anak-anak lain, tidak dengan privat bersama guru dan materi yang begitu membosankan.
Saat itu ibu berkata ‘ibu takut kau akan tumbuh menjadi anak dengan pergaulan yang tidak seimbang, bagaimana bila temanmu nanti adalah orang yang membencimu, apakah kau bisa berjanji pada ibu kau tidak akan salah dalam memilih teman, apa kau sanggup bila ibu kelak melarangmu berteman dengan orang yang sombong, pamer, tidak ramah, pemarah dan masih banyak lagi. Dan aku hanya menjawab ‘lantas bagaimana bila teman yang ku miliki sekarang sudah memelihara sifat itu apakah aku harus menghindarinya? sedangkan hanya itu teman yang aku miliki, bagaimana bila akhirnya aku harus menghindari ibu ku sendiri’. tanpa ku sadari ibu meneteskan air matanya dan ia tersenyum padaku “pilihlah kehidupanmu sendiri nak”.
Kalimat-kalimat yang ibu lontarkan membuat ku marah dan berlari meninggalkannya sendiri, walaupun usiaku saat itu masih empatbelas tahun tapi emosionalku sudah begitu tinggi, aku memilih tinggal bersama nenek selama dua pekan dengan alasan suntuk, namun setelah nenek tau aku berbohong, nenek langsung memarahiku dan menyuruhku pulang jika aku tidak pulang maka aku tidak boleh datang kerumah nenek lagi, bagiku itu pilihan yang tidak perlu di fikirkan lagi, tentu saja aku akan memilih untuk pulang.
Dan saat ku pulang ternyata ibu tidak berada di rumah, aku sempat berfikir ibu benar-benar meninggalkanku, namun setelah aku menunggu satu jam ibu datang dengan wajah sembab, aku benar-benar merasa bersalah dan setelah kejadian itu aku tak pernah menuntut apapun lagi pada ibu apa lagi menuntut sesuatu yang bisa membuat ibu sedih.
“dan ibu dengan begitu cepat ia memaafkanku...”.
Aku tak dapat berbohong aku begitu bahagia walau hanya ibu dan nenek yang aku miliki dan aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana bila suatu saat mereka meningaalkanku.
****
Begitu terasa nyanyian alam, bersyair di telingaku. jiwa kelam ku tlah di sinari beribu harapan ya Harapan Ke Depan...aku ingin bersekolah, layaknya mereka yang lalu-lalang di depan gerbang rumah ku dengan warna putih abu-abu yang bgitu menggoda dan tak sering ia merayu ku untuk segara mengenakannya.
‘Dinda apa yang kau fikirkan?
“Emmm... tidak, aku hanya..”
Kau ingin seperti mereka?, sambungnya seketika
Sangat ingin Amanda tapi aku takut harapan ku ini akan menyakiti ibu. jawabku tanpa ekspresi,
‘Yakinlah, ibu mu punya alasan tersendiri untuk ini’.
Iya alasan yang tak kan pernah ku ketahui, karena aku dan ibu tak pernah saling bicara. jika saja ibu mau meluangkan sedikit waktunya untuk aku mengenal dirinya pasti semua bisa lebih mudah untuk ku pahami. Kapankah waktu itu tiba, ibu lihat aku, bahkan tuk memeluk ku kau pun tak sudi. Untunglah ada Amanda, setidaknya aku dapat berbagi kesuntukan ini bersamanya, belajar bersama dirumah dengan guru yang sangat membosankan.
Amanda, Dinda...apa yang kalian lakukan diluar ayo masuk nak.
‘iya bu, jawab Amanda dengan manja.
Tersentak ku di kejutkan saat ibu membelai rambut Amanda yang saat itu tidak mengenakan kerudung, bahkan ibu tak sama sekali melirikku, tatapan itu aku, kenapa dengan ku..
Tanpa sempat turut bermanja, jiwa ini langsung menuntunku meninggalkan mereka berdua, hanya berdua.
‘Nenek, aku merindukanmu’.
Saat itu ibu tidak berada di rumah, ia pergi setelah membelai kepala Amanda. Tanpa fikir panjang langsung ku tuntun langkah ini menuju kediaman nenek, serasa hujan membasahi tubuh ini, keringat dingin mengalir tanpa izin padaku. Ingin ku abaikan rasa gugup ini tapi sungguh getar itu semakin menjadi saat aku mencoba untuk tenang.
“bu, aku ingin pergi ke suatu tempat untuk waktu yang tidak bisa ku tentukan, aku ingin menitipkan kedua anakku disini bersama ibu, Amanda dan Dinda pasti sangat senang jika mereka tau meraka akan tinggal bersamamu”,
‘adakah niat mu untuk tidak kembali lagi’, jawab nenek seraya menundukkan kepalanya.
“sempat bu, bahkan selalu datang niat itu tapi aku ibu nya. Aku pasti kembali”.
‘kau bohong, kau sedang berbohong...baiklah, katakan pada ibu kapan kau akan kembali dan jangan pernah ingkari itu’.
Tak ada jawaban saat itu, semua tampak hening, ibu hanya terdiam saat nenek bertanya kapan ia akan kembali dan mungkinkah ia memang tak ingin kembali.
“ibu tidak bisa melarangmu, ibu tau hati mu sangat tersiksa tapi cobalah sekali saja kau rasakan kehangatan mereka, mereka sangat menyayangimu. Tolong jangan pernah tukar mereka dengan masa lalumu”. Balas nenek.
Tak terasa air mata ini perlahan mengalir, ribuan pertanyaan menari bebas bersama prasangka. Kenapa ia hadirkan niat itu, niat untuk meninggalkan ku, dan kenapa aku harus mendengar semua ini. Ingin sekali ku berlari meninggalkan kata yang tak pernah ingin ku dengar ini.
“beritahu aku kenapa ibu harus pergi”, ucapku perhalahan mengejutkan mereka. ”Adinda, apa yang kau lakukan disana”, jawab ibu dengan raut cemas kalau saja aku mendengar semua yang ia katakan. “aku tak ingin ibu pergi” sambungku dengan tatapan teduh.
“Kau takkan mengerti sayang, kau akan membiarkan ibu pergi setelah nenek menceritakan semuanya pada kalian”, aku tak peduli dengan apa yang ia katakan aku hanya tak ingin ia pergi, ku fikir dengan memeluknya erat ia takkan pergi tapi ternyata salah ia meninggakanku tanpa ku mengerti, kalian? Amanda jugakah...
”Nek katakan padaku ada apa dengan ibu, apakah aku begitu membuatnya marah, kenapa ia ingin meninggalkaku”, air mata yang sudah dipelupuk itu akhirnya terjatuh. Sesaat semua menjadi hening namun tidak ketika nenek perlahan mulai mengeluarkan suaranya untuk menceritakan sesuatu padaku.
”16 tahun yang lalu dokter menyarankan pada ayah dan ibumu untuk mengadopsi seorang anak. Ayahmu, putra satu-satunya nenek, ia tak bersedia melakukannya, ia meminta restu nenek untuk menikahi seorang sahabatnya di masa kecil yang saat itu masih berstatus belum menikah. Disana letak kesalahan nenek, seharusnya nenek tidak merestuinya namun melihat kesungguhannya nenek luluh tanpa memperdulikan perasaan ibumu..”
Aku semakin tak mengerti dibuat nenek, dongeng apa yang sedang ia ceritakan padaku, ”lalu apakah wanita itu berhasil merebut ayah dari ibu, nek?”. Sambungku.
”Iya nak, wanita itulah yang akhirnya melahirkan kalian berdua dari rahimnya”, nenek menangis dan aku makin tak mengerti, kalian dan wanita itu, apa ini, sandiwara apa, ”wanita itu?” tanyaku penuh rasa penasaran.
”Wanita itu adalah ibumu, ditahun kedua pernikahan mereka, wanita itu melahirkanmu, anakku. Ayahmu sangat bahagia, hidupnya tampak begitu sempurna, tapi tidak dengan ibumu bahkan ayahmu tidak pernah menganggap mempunyai dua istri melainkan seorang pelayan dan hanya seorang istri. Seringkali nenek menemukan ibumu tengah menangis tapi ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ditahun berikutnya lahirlah Amanda dan di tahun itu jugalah ibumu meninggal karena pendarahan, ayah kalian shock dan mengakhiri hidupnya tanpa memperdulikan perasaan ibumu, istri pertamanya”. Mendengar cerita nenek membuatku ingin berlari, berteriak, dan berteriak lagi. Ia bukan ibuku, bagaimana bisa nenek berkata seperti itu. Jika saja orang lain yang berkata seperti itu mungkin aku takkan mempercayainya tapi ini nenek orang yang begitu berperan dalam hidupku. ”dia adikku”, sambungku. ”iya, dia adikmu yang dikirim ibumu ke salah satu panti asuhan karena wajah adikmu begitu mirip dengan wanita yang telah melahirkan kalian dan ibumu memilih untuk merawatmu karena kau begitu mirip dengan ayahmu, matamu, hidungmu dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat ibumu ingin merawatmu, ia memohon kepada nenek untuk tidak merawat Amanda untuk menghapus kenangan buruknya dimasa itu”. Nenek meneruskan ceritanya hingga aku mulai jenuh, begitu jenuh dengan cerita yang rasanya tak pernah ingin ku dengar ini.
Tanpa membuang waktu ku berlari membelakangi nenek, berharap ia belum pergi jauh, ku kerahkan sisa-sisa tenaga seakan sedang berlomba menuju garis finish, setiap tikungan terasa begitu terjal dan aku hanya bisa menangis dalam harapan. Tapi langkahku terhenti disini, ya di jalan raya yang nampak ramai oleh warga. Seorang wanita di tabrak sebuah inova, ia menghembuskan nafas terakhirnya disana. Dan Amanda ia seakan ingin menghabiskan semua sisa air matanya. Ibu aku sungguh mencintaimu bahkan setelah nenek menceritakan semuanya tak berkurang sdikitpun rasa sayang ini, sungguh aku tetap mencintaimu..
The end..
Casino de Vegas Resort - Dr.MCD
ReplyDeleteThe MGM Resort 태백 출장마사지 has over 1,300 나주 출장안마 rooms 여수 출장샵 in four distinct buildings, including 구리 출장안마 the Las Vegas Strip, and Las Vegas Strip. The resort has a total of 4,000 부천 출장샵 slots and