PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil
imajinasi seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan
sekitarnya.Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu
kepada penikmat karyanya.Sesuatu yang ingin disampaikan pengarang adalah
perasaan yang dirasakan saat bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.
Salah satu bentuk karya sastra yang membicarakan manusia dengan segala perilaku
dan kepribadiannya dalam kehidupan adalah cerpen. Membaca karya fiksi berupa cerpen
berarti kita menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasaan batin,
memberikan kesadaran mengenai gambaran kehidupan dan belajar untuk menghadapi
masalah yang mungkin akan kita mengenai gambaran
kehidupan dan belajar untuk menghadapi masalah yang mungkin akan
kita alami.
Sebagai
karya, cerpen merupakan hasil ungkapan, ide-ide, gagasan dan pengalaman
pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Sebagai karya imajiner, cerpen
menawarkan berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan dan kemudian
diungkapkan kembali melalui sarana sastra dengan pandangannya.
Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis mengandung banyak pesan
moral karena hasil imajinasi kejadian nyata dalam kehidupan manusia. Cerpen ini
mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu
membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah
dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya..
Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan
penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi
sesuai dengan pandangannya. Dalam menuangkan imajinasinya yang berdasarkan
pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan, pengarang juga memasukkan
unsur hiburan, percintaan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Penyelesaian
pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja bersifat
subjektif.
Kejadian atau peristiwa yang terdapat
dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau
pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang
pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau
konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik
dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana unsur intrinsik dalam Cerpen
“Robohnya Surau Kami”?
2. Bagaimana unsur ekstrinsik dalam Cerpen
“Robohnya Surau Kami”?
PEMBAHASAN
Sinopsis
Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek
Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari
mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat
siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya
dan agar kajian ini, agar mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis
cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang
dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk.
Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin
dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang
itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun
orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok
yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah
pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa
uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah
pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan
bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena
dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak
dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang
dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan.
Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia
merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk
dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak
dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang
tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya
kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor
lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada
Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan
? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi
dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka.
Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya.
Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas
untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat
di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu
orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang
pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
Tinjauan
atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan
karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik
pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau
Kami itu sebagai berikut:
1.
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan
gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang
mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti
ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami
sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan
Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 3 (unfiled Notes Page 3) berikut ini.
“Sedari mudaku
aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari
kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan
aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak
ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang
kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul
bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku
bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya.
“Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku
bila aku terkejut. ” Masa
Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 6 (unfiled Notes Page 6) gambaran
itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak,
kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau
di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka
sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat
kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala
keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh
dirinya.
2.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan
dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari
seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya
melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang
dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan,
yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal
inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan
keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau
Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh
terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima
halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian
diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau
menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang
lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 3 (unfiled
Notes Page 3).
“Marah ? Ya,
kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama
aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal
kepada Tuhan .…”
dari ucapan
kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai
karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita
lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang
baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji
Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 24 kali ke Mekkah
dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 4,
unfiled Notes Page 4 ).
Tidak hanya itu
saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab
hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu
cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa
engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku
menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa
beramal kalau engkau miskin .…” (hlm.
6, unfiled Notes Page 6).
(e) Jangan
mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini
halaman 6 (unfiled Notes Page 6).
”…. Kesalahan
engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
3.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu;
dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat
berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar
tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat
pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka
kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada
kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 2, unfiled Notes Page 2 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam
cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan
di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu
waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang
yang sudah berpulang ….” (hlm. 3, unfiled
Notes Page 3)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas
menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan
datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian
yang bakal roboh ………
Sekali hari aku
datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 2, unfiled Notes Page 2)
“Sedari mudaku
aku di sini, bukan ?….” (hlm.
3, unfiled Notes Page 3)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di
dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan
di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek (hlm. 2, unfiled Notes Page 2)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia,
pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial
yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui
kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang
banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata
Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan
demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju.
Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 5, unfiled Notes Page 5)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa
tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (unfiled Notes Page 5), termasuk
kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya,
dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak
dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal
apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada
berikut ini.
Haji soleh yang
jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang
Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang
digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar
sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam
kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,”
tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku
mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
4.
Alur
(plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:32) diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian
tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur.
Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan
bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti
berikut.
Bagian
Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini
terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/
memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini,
eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang
kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti
yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak
mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam
bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu.
Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia
tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu
mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang
ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau
atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta
tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 2, unfiled Notes Page 2).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas
(ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan. Yang
dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala
permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini
sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya ….
Jika Tuan
datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (unfiled Notes Page 2).
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita
mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan
menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa
terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu
cerita.
Bagian
Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu
pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan
itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul,
seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan
suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan
ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Data
konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak
mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek
suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut benar
dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya
sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek
susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan
pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 2, unfiled Notes Page 2).
Rupanya
si Kakek sedang dicekam konflik
Konflik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku
menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab
munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu.
Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu
geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar
dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini,
yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 3, unfiled
Notes Page 3)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja
melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi
terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam
batinnya.
Begitu
kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang
diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku
ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan
dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara
yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik.
Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan
masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu
meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa
saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia
pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo
Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia
sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu
Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia
meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,”
tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?”
Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm.
6, unfiled Notes Page 6).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini
agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung
jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk
membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana
salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas
maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back
(sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah
sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau beberapa
tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di
ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri
surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi
dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.6-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun
rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku
kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.2, unfiled Notes Page 2).
5.
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang
menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan
tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a.
Tokoh Aku
Tokoh ini
begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku
ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak
membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku
ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku
dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana
katanya, kek ?”.(hlm.3, unfiled Notes Page 3)
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,”
kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari
AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.6, unfiled Notes Page 6).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan
tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini
disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku.
Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat
karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu
mengena. Data untuk ini seperti berikut.
….Maka aku
ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin
ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi
pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak
pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.2, unfiled
Notes Page 2)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo
Sidi orang yang cinta kerja.
c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi
pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah
dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya,
serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah
termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi
serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya.
Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak
mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan
bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya
sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan
pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu
mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data
berikut:
“ Sedari mudaku
aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(
unfiled Notes Page 3).
d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja
untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah
dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini
demikian hidup. Secara
jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu
mementingkan diri sendiri.
6.
Titik
Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi
pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat
langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar
cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis
memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan
sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada
bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat
pasar….( unfiled Notes Page 2).
Sekali hari Aku datang pula mengupah
pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya
uang….( unfiled Notes Page 2).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di
depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang
sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap
melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat
tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini
pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan
kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh.
Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh
–tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai
tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
7.
Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa
disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau
sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya
merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata,
kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang
menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam),
seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah,
Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat
menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat,
neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan
pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula
judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian,
keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan
kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan
agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai
kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan
kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap
Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam
dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta
dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam
cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara
berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di
akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan
bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau
suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam
cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol,
pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan
yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak
memelihara apa yang tidak dijaga lagi” ( unfiled Notes Page 2).
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian
penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus
mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil.
Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat
tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan
Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra
jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain.
Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat
mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan
pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal.
Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat
dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan
cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang
sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas
menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa
Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun
dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang
budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang
beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan
tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat
kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa
membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A.
Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat
dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan
pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut :
2. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai
menghidupi keluarganya.
b.
Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1. jangan cepat marah kalau diejek
orang,
2. jangan cepat bangga kalau berbuat
baik,
3. jangan terpesona oleh gelar dan nama
besar,
4.
jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki,
dan
5. jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini
adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur
cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah
berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa
bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku,
Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1.
Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu
urusan orang lain.
2. Ajo Sidi adalah orang yang suka
membual
3. Kakek adalah orang yang egois dan
lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4. Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan
diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik
pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang
Haji Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan
kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
Tinjauan atas Unsur Ekstrinsik
Judul :
Robohnya Surau Kami
Penulis :
Ali Akbar Navis
Kota terbit : Jakarta
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 1986
Agama Pengarang :
Islam
Nilai-nilainya
a.
Nilai-nilai budayanya
Pola fikir yang kurang berpendidikan membuat
kakek salah dalam mengambil keputusan, tidak ada keiginan untuk hidup lebih
baik dan berkembang.
Ajo Sidi yang
menyebalkan! Begitu diceritakan betapa mulut besar dirinya. Banyak omong,
pembual. Dalam cerpen ini dijabarkan perkataan Ajo Sidi panjang lebar yang
jelas menyindir. Menjengkelkan! Mungkin
memang seperti budaya Sumatra yang masyarakatnya berwatak keras.Omongannya
pedas, kasar, dan tajam.³Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat
Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas
di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia.
Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.
Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang didunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu
tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begituyakin akan di masukkan ke dalam
surga....µSalahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di
dunia? tanya Haji Saleh µTidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taatsembahyang. Tapi engkau
melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar,
terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapiengkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.
b.
Nilai-nilai sosial
Rasa atau sikap sosial masih ada
walaupun cuma sedikit. Sifat iklas kakek dalam membantu terhadap
tetangga-tetagganya.
Hal tersebut terbukti dalam cerita bahwa si Kakek dari
muda tidak bekerja. Ia hanya menjaga surau
dan mendapat sedekah. Ia tidak mencari pekerjaan yang pasti atau bahkan tidak
berkarya dan menciptakan pekerjaan sendiri, hanya mengasah pisau yang
penghasilnya sangat kecil dan tidak menentu. Baiknya di sini masih ada
orang-orang yang sadar akan indahnya berbagi. Mereka yang menggunakan jasa asah
pisau si Kakek memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-lakiyang meminta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang.
c.
Nilai-nilai moral
Perbuatan kakek yang siap membantu
kapanpun dan tidak mengharap imbalan patut dicontoh.
Hal tersebut terbukti dalam cerita
bahwa si Kakek dari muda tidak bekerja. Ia hanya menjaga surau dan mendapat sedekah. Ia tidak mencari pekerjaan yang
pasti atau bahkan tidak berkarya dan menciptakan pekerjaan sendiri, hanya
mengasah pisau yang penghasilnyasangat kecil dan tidak menentu. Baiknya
di sini masih ada orang-orang yang sadar akan indahnya berbagi. Mereka yang menggunakan
jasa asah pisau si Kakek memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang meminta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang.Lagi-lagi buruknya, ada juga yang hanya memberikan si Kakek
ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Mereka adalah orang-orang yang
itungan
d.
Nilai-nilai agamanya
Ketaatan kakek dalam beribadah dan menyembah
tuhan adalah salah satu perbuatan yang layak dicontoh.
Tergambar
di dalam kutipan berikut :
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya
isteri, punya anak, punya keluargaseperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan
hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikinrumah. Segala kehidupanku, lahir
batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini
akudikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang
kulakukan,sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi
kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih dan penyayang kepadaumatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya
bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiapwaktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca
Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerimakarunia-Nya. Astagfirullah
kataku bila aku terkejut. Masya Allah
kataku bila aku kagum.´
e. Nilai
Pendidkan
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan
tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
PENUTUP
Kesimpulan
Karya sastra merupakan sebuah karya
yang memiliki nilai edukasi, etika, dan estetika. Karya sastra juga memiliki
aspek yang sangat penting, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua
aspek tersebut harus dipandang sama, tidak boleh meletakkan bahwa unsure intrinsik
yang lebih penting dari unsur ekstrinsik begitu juga sebaliknya.
Analisis aspek intrinsik karya sastra
ialah analisis mengenai karya sastra itu sendiri tanpa melihat kaitannya dengan
data di luar cipta sastra sastra tersebut, aspek ekstrinsik hanyalah dalam
hubungan menetapkan nilai isinya
Sebuah karya fiksi menawarkan berbagai
permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.Pengarang menghayati
berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya, yang
sangat menarik untuk dianalisis, yaitu dengan analisis aspek intrinsik dan
ekstrinsik.
Analisis aspek intrinsik karya sastra ialah analisis mengenai karya sastra itu
sendiri tanpa melihat kaitannya dengan data di luar cipta sastra sastra
tersebut, aspek ekstrinsik hanyalah dalam hubungan menetapkan nilai isinya. Analisis
aspek unsur ekstrinsik ialah analisis karya sastra itu sendiri dari segi
isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di
luar karya sastra itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment