Namaku Sania, dulu aku hampir saja
percaya dengan mitos tentang pohon yang bisa
menyatukan dua hati itu. Yah! Pohon jodoh namanya, pohon rindang yang
menjadi incaran muda-mudi dalam kunjungannya. Namun itu dulu, tidak setelah
peristiwa itu terjadi.
***
Kala itu hanya ada satu pria dalam
hatiku, pria terhebat yang mampu meluluhkan energi negatif dalam hidupku dan sejak
saat itu jualah tak pernah ada pria-pria lain yang ku daftarkan untuk
memenangkan hatiku. Pria angkuh ini telah berhasil membuatku merasa nyaman,
itulah kenyataannya. Beberapa teman sering memberiku nasehat untuk tidak
meneruskannya tapi aku tetap mempertahankannya. Sampai hari ini, banggalah aku
ketika kami masih bisa merayakan unniversary yang ke enam tahun untuk hubungan
kami. Bahkan, berkali-kali ku ucapkan aisiteru padanya. Andi, ia adalah cinta
pertamaku. Disela suka cita yang kian mendera ku lisankan harapanku padanya,
“suatu saat, aku ingin kita kembali ke pulau ini, bersamamu dan menuliskan nama
kita entah di ranting, daun, akar, ataupun pagar yang melingkari pohon ini.”.
sayang ini membuatku sedikit kecewa
karena ia hanya membalasku dengan senyuman. Namun, aku tak begitu memperdulikan
ekspresi itu karena sebenarnya sudah lama nama kami ku ukirkan disana, bisa
dikatakan di tahun pertama kami membuat komitmen. Entah karena dia atau karena
aku terlanjur mencintai pesonanya. Pesona yang begitu mendamaikan sehingga aku
buta dan mati rasa untuk merasakan ketidaknyamanan dalam hubungan ini. Berbeda
dengannya, ia tampak mulai bosan. Ia palingkan wajah saat aku lengah untuk
memperhatikannya, beberapa wanita akan beranggapan bahwa ia seorang pria hidung
belang yang tengah bersama seorang wanita tapi menggoda wanita lainnya.
Di hari berikutnya, aku mulai khawatir
ketika ku temukan beberapa pesan di ponselnya, pesan itu berisi ajakan untuk
sebuah pertemuan. Namun sayangnya pesan itu terdapat pada sand item atau berita
terkirim, aku tak pernah ingin menanyakannya karena aku sendiri tak ingin
percaya bahwa priaku yang telah mengirim pesan itu. Semua terpendam begitu saja
hingga tepat dihari yang telah mereka sepakati, terjawab sudah pertanyaan yang
selama ini tak ingin ku tanyakan, ia benar-benar akan meninggalkanku. Pohon itu
telah mengukir nama mereka. Ingin ku tumbangkan rasanya, rasa ini bergejolak,
terombang-ambing ditengah ketidakpahaman yang sekejab menghapus kisah enam
tahun yang selama ini begitu ku jaga.
Rona itu masih tergambar jelas mengikuti
gerak nadi ini, jantungku pun berdetak kian keras membantai ketidakpastian,
menyatukan kata demi kata hingga terangkailah bait puisi yang menggugah nurani.
Rasa hambar terus bergulat menerjang dinding anganku, tidak seharusnya ku
pelihara rasa ini mematikan sendi-sendi pengharapanku. Mungkinkah serdadu air
mata ini akan mengaliri puncak kepesimisan hati, menyekapku dengan erat dan bahkan
takkan melepasku. Aku begitu terpuruk, tirai-tirai kelam terus saja menghalangi
pandangan. Hari itu aku begitu hancur, yah! Hanya hari itu.
***
Bertahun-tahun kulalui hari tanpa ada
paksaan untukku tersenyum. Setelah hari itu aku sungguh bahagia, terlebih
akhirnya aku bisa kembali berkunjung ke pulau ini, Pulau Kemaro.
Pulau yang tetap terlihat indah.
Walaupun tak sering ku datangi, ia tak berubah sama sekali. Namun, tiba-tiba
saja keindahan itu terhalang ketika seorang pria datang menghampiriku,
“Sania, benarkah kau Sania?”, sapanya
seraya mendekatiku dengan ekspresi yang sulit didefinisikan. Aku memang
mengenalnya, namun tidak begitu ku kenal lagi karena luka itu telah
menyadarkanku bahwa kelak aku akan lebih bahagia.
“Iya, aku Sania…” belum sempat
melanjutkan kalimat berikutnya ia langsung meraih jemariku dan menggenggamnya
dengan erat.
“Sania, terima kasih karena tetap
menantiku, aku sangat menyesal, bagaimanapun kaulah yang paling memahamiku.
Mari kita ukir bersama nama kita disana.” Sambungnya seraya menarik kedua
lenganku berniat menuju pohon yang mengandung unsur mitos itu.
Sejenak aku terdiam, membuat kaku
suasana, menahan langkah yang pernah menjadi tujuan hidupku.
“Andi, disini aku tidak sedang menunggu
ataupun mengenangmu, aku hanya ingin menikmati keindahan pulau indah nan elok
ini bersama keluargaku”. Ucapku seraya menunjuk seorang pria yang tengah
menggendong Sania kecilku.
No comments:
Post a Comment