Friday, October 11, 2013

Mitos Cinta Pulau Kemaro



Namaku Sania, dulu aku hampir saja percaya dengan mitos tentang pohon yang bisa  menyatukan dua hati itu. Yah! Pohon jodoh namanya, pohon rindang yang menjadi incaran muda-mudi dalam kunjungannya. Namun itu dulu, tidak setelah peristiwa itu terjadi.
***
Kala itu hanya ada satu pria dalam hatiku, pria terhebat yang mampu meluluhkan energi negatif dalam hidupku dan sejak saat itu jualah tak pernah ada pria-pria lain yang ku daftarkan untuk memenangkan hatiku. Pria angkuh ini telah berhasil membuatku merasa nyaman, itulah kenyataannya. Beberapa teman sering memberiku nasehat untuk tidak meneruskannya tapi aku tetap mempertahankannya. Sampai hari ini, banggalah aku ketika kami masih bisa merayakan unniversary yang ke enam tahun untuk hubungan kami. Bahkan, berkali-kali ku ucapkan aisiteru padanya. Andi, ia adalah cinta pertamaku. Disela suka cita yang kian mendera ku lisankan harapanku padanya, “suatu saat, aku ingin kita kembali ke pulau ini, bersamamu dan menuliskan nama kita entah di ranting, daun, akar, ataupun pagar yang melingkari pohon ini.”.
sayang ini membuatku sedikit kecewa karena ia hanya membalasku dengan senyuman. Namun, aku tak begitu memperdulikan ekspresi itu karena sebenarnya sudah lama nama kami ku ukirkan disana, bisa dikatakan di tahun pertama kami membuat komitmen. Entah karena dia atau karena aku terlanjur mencintai pesonanya. Pesona yang begitu mendamaikan sehingga aku buta dan mati rasa untuk merasakan ketidaknyamanan dalam hubungan ini. Berbeda dengannya, ia tampak mulai bosan. Ia palingkan wajah saat aku lengah untuk memperhatikannya, beberapa wanita akan beranggapan bahwa ia seorang pria hidung belang yang tengah bersama seorang wanita tapi menggoda wanita lainnya.
Di hari berikutnya, aku mulai khawatir ketika ku temukan beberapa pesan di ponselnya, pesan itu berisi ajakan untuk sebuah pertemuan. Namun sayangnya pesan itu terdapat pada sand item atau berita terkirim, aku tak pernah ingin menanyakannya karena aku sendiri tak ingin percaya bahwa priaku yang telah mengirim pesan itu. Semua terpendam begitu saja hingga tepat dihari yang telah mereka sepakati, terjawab sudah pertanyaan yang selama ini tak ingin ku tanyakan, ia benar-benar akan meninggalkanku. Pohon itu telah mengukir nama mereka. Ingin ku tumbangkan rasanya, rasa ini bergejolak, terombang-ambing ditengah ketidakpahaman yang sekejab menghapus kisah enam tahun yang selama ini begitu ku jaga.
Rona itu masih tergambar jelas mengikuti gerak nadi ini, jantungku pun berdetak kian keras membantai ketidakpastian, menyatukan kata demi kata hingga terangkailah bait puisi yang menggugah nurani. Rasa hambar terus bergulat menerjang dinding anganku, tidak seharusnya ku pelihara rasa ini mematikan sendi-sendi pengharapanku. Mungkinkah serdadu air mata ini akan mengaliri puncak kepesimisan hati, menyekapku dengan erat dan bahkan takkan melepasku. Aku begitu terpuruk, tirai-tirai kelam terus saja menghalangi pandangan. Hari itu aku begitu hancur, yah! Hanya hari itu.
***
Bertahun-tahun kulalui hari tanpa ada paksaan untukku tersenyum. Setelah hari itu aku sungguh bahagia, terlebih akhirnya aku bisa kembali berkunjung ke pulau ini, Pulau Kemaro.
Pulau yang tetap terlihat indah. Walaupun tak sering ku datangi, ia tak berubah sama sekali. Namun, tiba-tiba saja keindahan itu terhalang ketika seorang pria datang menghampiriku,
“Sania, benarkah kau Sania?”, sapanya seraya mendekatiku dengan ekspresi yang sulit didefinisikan. Aku memang mengenalnya, namun tidak begitu ku kenal lagi karena luka itu telah menyadarkanku bahwa kelak aku akan lebih bahagia.
“Iya, aku Sania…” belum sempat melanjutkan kalimat berikutnya ia langsung meraih jemariku dan menggenggamnya dengan erat.
“Sania, terima kasih karena tetap menantiku, aku sangat menyesal, bagaimanapun kaulah yang paling memahamiku. Mari kita ukir bersama nama kita disana.” Sambungnya seraya menarik kedua lenganku berniat menuju pohon yang mengandung unsur mitos itu.
Sejenak aku terdiam, membuat kaku suasana, menahan langkah yang pernah menjadi tujuan hidupku.
“Andi, disini aku tidak sedang menunggu ataupun mengenangmu, aku hanya ingin menikmati keindahan pulau indah nan elok ini bersama keluargaku”. Ucapku seraya menunjuk seorang pria yang tengah menggendong Sania kecilku.

No comments:

Post a Comment